Rencana jalan ke Jogja ada sudah dari awal tahun 2017
kemarin. Memang baru angan-angan waktu
itu, “Seru kali ya traveling gitu kayak orang orang”. Lalu tercetus begitu saja nama Jogja. Beberapa teman aku ajak pada rencana ini,
namun berhubung waktu dan pendanaan yang tidak jelas, rencana ini pun perlahan
terlupakan. Hingga seorang teman, sebut
saja di Nyoto, “menagih” rencana itu.
Pertengahan September dia bisa mengajukan cuti kerja. Waktu sekitar itulah kami putuskan sebagai
waktu keberangkatan.
Tanggal 18 September, tiket dua orang sudah dipesan
pulang-pergi. Mendadak Nyoto tidak bisa mengambil cuti. Sulitnya perizinan dari atasan menjadi
measalah utama. Rencana terpaksa kami
tunda. Dua kali hal ini terjadi. Namun tanggal 30 September, setelah perizinan
yang a lot dan dua klai penundaan, berangkatlah kami.
Stasiun Kiaracondong Bandung merupakan stasiun tempat
pemberangkatan kami. Jadwal yang dipilih
adalah pukul 6:10 sore. Karena jadwal
yang mendesak, shalat Magrib dan Isya kami lakukan di atas kereta. Tiba di Stasiun Lempuyangan pukul 3 dini
hari, telat sekitar satu jam dari jadwal kedatangan kereta. Dengan rasa kantuk yang sudah tidak tertahan,
kami terkapar di mushola stasiun. Meski
ada larangan untuk tiduran di sana, apa daya mata sudah tidak bisa diajak
negosiasi. Baru saja sekitar setengah
jam terlelap, di luar mushola yang terbuka dindingnya itu ada sedikit
keributan. Aku terbangun karena ada
bapak bapak yang kehilangan istrinya.
Bapak itu memanggil-manggil istrinya yang entah sedang di mana, membuat
aku dan beberapa orang yang tidur di sana harus terbangun karena suara
berisiknya. Sekedar saran, bila bepergian
dengan orang yang kita cintai, sebaiknya dikasih tali pengikat saja agar tidak
hilang dan mencari-cari hingga harus membangunkan orang lain yang sedang
tertidur kelelahan.
0 komentar:
Posting Komentar