Setelah melewati jalan yang di pinggir kanan-kirinya berupa
pesawahan, kami tiba di Borobudur. Pukul
setengah 3 sore, untungnya kami masih
dipersilakan untuk masuk. Berbeda dengan
di Prambanan, di Borobudur pengamanannya lebih ketat. Kami dilarang membawa makanan ke area
candi. Turis yang datang ke sini pun
tidak sebanyak turis di Prambanan. Candi
Borobudur adalah candi Budha terbesar di dunia. Candi ni bahkan masuk Seven wonder-nya dunia. Satu
lagi perbedaan dengan Candi Prambanan, jika Prambanan terdiri dari beberapa
candi, Borobudur hanya terdiri dari sebuah candi yang besar dan
bertingkat-tingkat. Kemegahan desain
arsitekturnya tidak kalah dengan Candi Prambanan.
Di Borobudur pun tidak sulit menemukan turis-turis dari
mancanegara. Setelah melakukan
pengamatan bersama Nyoto terhadap turis-turis di Prambanan dan Borobudur, kami
jadi tahu kebiasaan turis turis ini tentang cara berfoto. Turis Eropa biasanya hanya melakukan beberapa
pemotretan dengan objek dirinya atau teman temannya. Sisanya turis Eropa banyak memotret bangunan
candid an keindahan lain. Turis Asia dan
yang berwajah oriental justru sebaliknya.
Mereka banyak sekali melakukan selfie dan memoto dirinya. Turis lokal beda lagi. Selain banyak berfoto diri, turis lokal juga
banyak (meminta) berfoto dengan bule-bule asing. Seolah bule-bule itu adalah alien atau lebih
unik dari patung-patung candi. Mending
kalau meminta foto dengan memakai bahasa Inggris. Ini mah….
Dan entah kenapa, tidak hanya di tempat-tempat wisata, bila “bule”
melintas, banyak dari orang lokal menatapnya dengan pandangan aneh. Coba kita bayangkan bila ada orang yang
menatap kita dengan pandangan aneh dan menelisik. Pasti kita akan merasa tersinggung juga. Bikin malu!
0 komentar:
Posting Komentar