Dua malam di Jogja membuatku sangat-sangat kekurangan
tidur. Betapa tidak, kawasan Malioboro
lebih “hidup” pada malam hari. Para
pemuda kebanyakan baru keluar setelah matahari benar-benar tenggelam. Bila Hollywood punya Walk of Fame sebagai trotoar paling
terkenal, maka Jogjakarta punya Malioboro.
Bukan tempat nama-nama tokoh dunia terpajang, Malioboro merupakan
pusatnya orang-orang berkumpul di Jogjakarta.
Kehidupan malam di Malioboro akan menggoda siapa saja untuk tidak tidur
hingga pagi menjelang (bukan dari segi negatif seperti clubbing atau berpesta
tentunya). Banyak pemuda pemuda
berkumpul malam hari di Malioboro.
Mereka menampilkan karya-karya mereka.
Kebanyakan dalam bidang musik.
Kita bisa menemukan setidaknya
lima grup pemusik jalanan di sepanjang trotoar Malioboro. Tidak seperti pengamen kebanyakan, para
seniman ini benar-benar “niat”. Mereka
membawa sound sistem sendiri. Di samping
itu alat-alat yang digunakan pun tidak melulu gitar dan gitar. Bermacam alat seperti anglkung, gendang,
terompet, seruling, atau alat musik tradisional lain juga mereka bawakan. Ngobrol dengan teman-teman diiringi alunan
musik dari seniman jalanan tentu menjadi hal yang mengasyikkan. Dan sepertinya hal ini didukung oleh
pemerintah. Terlihat dari adanya petugas
yang berkeliaran dan mengamankan area Malioboro. Tidak ada larangan untuk berkumpul di malam
hari dari pemerintah. Nongkrong di
tempat terbuka tentu lebih baik dibanding clubbing dan minum-minum di diskotek
atau tempat lainnya.
Satu hal lagi yang membuat aku kagum dengan pemerintah
Jogjakarta adalah efektifnya pekerjaan dari petugas kebersihan kota. Hal ini bisa dilihat ketika malam hampir
habis dan sampah menumpuk di sepanjang trotoar, pada pagi hari ketika mencari
sarapan, sampah-sampah itu sudah hilang entah ke mana. Tidak ada yang namanya selokan mampet oleh
sampah.
0 komentar:
Posting Komentar