Sampahmu Sesuap Nasiku


Jumat, 16 Maret 2012
Pulang jum’atan dengan uring-uringan.  Tugas deadline yang numpuk plus tugas revisi yang harus dikerjain, ditambah tugas kelompok yang ga jelas nasibnya sukses menguras isi dompet gue.  Lu tau kan, gue kalo stress bawaannya malah pengen makan mulu.

Nyampe asrama belum juga ada kejelasan tentang tugas kelompok yang harus di revisi. Berulang kali gue sms temen-temen gue, ngajak kerja kelompok, yang bales Cuma satu dua orang, waktu balesnya lama pula. Akhirnya, gue Cuma bisa nunggu.
Setelah sekian banyak pulsa yang keluar, akhirnya salah seorang anggota kelompok gue ngasih kabar bahwa tugasnya ga perlu direvisi, yang perlu direvisi ternyata Cuma tugas dari kelompok lain.  Gue tinggal ngumpulin tugas yang udah dibuat tadi ke PJnya.  Dengan berjalan telanjang gara gara sendal gue yang dipinjem temen sekamar ilang, gue pergi ke gedung si PJ buat ngumpulin.  Dengan sedikit birokrasi sama PJ yang ngomongnya khas banget, maklum, orang luar negeri, akhirnya gue berhasil yakinin dia bahwa tugas yang kami buat itu udah bener.
Satu masalah pecah, gue balik lagi ke kamar.  Berharap dapat kenyamanan di kamar, gue Cuma dapet kamar yang berantakan abis.  Sampah kertas dan cangkang bekas minuman berserakan di mana mana. Entah penghuninya (termasuk gue) emang bener-bener sibuk atau emang pada ga peduli dan males bersihin kamar. Ya sudah, gue  yang ga suka minuman kemasan pun harus rela dan ihklas serta ridho buat mungutin sampah bekas minuman yang berserakan tadi. Gue masukin mereka ke dalam kantung plastik yang agak besar karena tempat sampah yang tersedia udah bener bener penuh dan ga bisa diisi lagi. Akhirnya, tangan kanan menjinjing tempat sampah, dan tangan kiri menjinjing kantung plastik yang juga berisi sampah, gue berjalan turun tangga menuju tong sampah besar di belakang asrama.  Saat gue nyampe, ada ibu-ibu di sana yang keliatannya lagi ngoreh-ngoreh tempat sampah, pemandangan yang udah ga aneh semenjak gue tinggal di kota yang katanya besar ini.  Ibu itu berhenti dan mempersilakan gue membuang sampah. Melihat gue meletakkan kantong plastik yang berisi penuh dengan cangkang minuman, ibu itu bertanya, “Ini ga dipake ?” sambil menunjuk plastik tadi.
“Engga,” jawab gue.
“Makasih,” kata ibu tadi sambil memungut kantong kresek.
Gue tersenyum dan berlalu meninggalkan ibu itu.  Sambil berjalan di lorong-lorong kamar, gue berpikir,  barang yang menurut gue ga berguna dan hanya sampah belaka, malah menjadi rejeki buat ibu itu, sampe sampe ibu itu bilang makasih sama gue. Begitu susahkah nyari rejeki di negara yang katanya kaya ini ?  begitu susahkah mencari rejeki di kota yang katanya besar ini ?  begitu susah kah mencari sesuap nasi sampai sampai banyak orang harus mengoreh-ngoreh tempat sampah ? begitu keras-kah kehidupan  yang sebenarnya ?  hati gue terenyuh.  Sedih rasanya melihat para pemulung yang kian hari kian banyak, melihat pengemis yang kian hari kian banyak, melihat nenek-nenek dan kakek kakek yang sering lewat asrama sambil memanggul kayu dan rumput atau buah-buahan.  Sedih rasanya mengingat wajah anggota dewan yang malah meminta kenaikan gajinya. Sedih rasanya gue ga bisa berbuat apa-apa dan Cuma bisa mengabadikan mereka lewat sebuah tulisan. Gimana jadinya nasib mereka jika isu yang beredar tentang kenaikan harga BBM benar-benar terjadi. Haruskah hidup mereka yang sudah berat ditambah lagi bebannya ?  kurang banyakkah air mata dan keringat yang sudah mereka keluarkan ?  haruskah mereka bekerja lebih keras lagi padahal di atas sana, para bajingan bajingan berdasi berpesta pora dengan ketamakannya?  Haruskah?  HARUSKAH ?
Sampai kapan negara ini dikusiri orang orang tamak dan tak berperi kemanusiaan?  Sampai kapan jurang pemisah antara sikaya dan si miskin, antara orang ber-mercy dan pejalan kaki, orang yang bersepatu hak tinggi dan orang yang bertelanjang kaki, berhenti melebar ?
Semoga datang di negara ini sesosok Umar yang rela memanggul beras untuk si miskin rakyatnya, sebelum Allah mengambil alih pengadilan yang caruk maruk ini.