Tentang Bogor

Aku akan mengungkapkan sebuah pengakuan, bahwa aku kuliah di IPB ini karena "terlempar".  Aku adalah salah satu korban dari kerasnya sebuah program bernama SNMPTN Undangan.  Sebelumnya tidak pernah terpikir olehku untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang terletak di kota Bogor ini.  Dari kecil sampai keluar SMA, cita-citaku adalah menjadi guru.  Mimpiku tidak muluk-muluk: meneruskan perjuangan Bapak mendidik anak-anak bangsa.  Aku bahkan sudah berangan-angan jika jadi guru nanti, aku akan mencoba beberapa program yang telah aku ciptakan sendiri dalam melaksanakan pengajaran. Aku akan membuka kelas tambahan gratis bagi anak-anak yang "tertinggal", bagi mereka yang memiliki kelemahan dalam menyerap pelajaran di kelas. Ya! mimpiku sudah sejauh itu.

Terlempar ke jurusan yang sama sekali asing, ke kampus yang tidak aku kehendaki sebelumnya, ke kota yang cukup jauh dari rumah dan kampung halaman,   tentu pada awalnya aku tidak betah. Aku pernah menyesal! Aku pernah meratapi nasib.  Aku pernah menyalahkan takdir yang melemparkanku begitu jauh dari angan dan cita-cita.  Dampaknya, nilaiku di kuliah kurang begitu membanggakan.  Tidak tertinggal memang, tapi tidak pula masuk sebagai predikat yang tinggi di kelas.  Aku pun tidak bisa memaksakan diri mencintai fakultas yang menaungiku.  Ketika mahasiswa lain asyik dengan even-even perlombaan, baik akademik maupun non akademik, ketika mahasiswa lain asyik bernyanyi dan meneriaki perwakilan fakultas yang berlaga di perlombaan kampus, aku lebih senang tidur atau menghabiskan waktu di depan laptop.

Sampai tingkat akhir, sejujurnya belum benar-benar dapat menumbuhkan cinta itu.  Meski mimpi menjadi guru sudah terkubur dalam-dalam, masih saja ada yang mengganjal.  Cinta memang tidak bisa dipaksa. 

Hari-hari terakhir di kampus, ternyata rasa kehilangan itu ada juga.  Tanpa aku sadari, bergaul setiap hari dengan udara  Bogor, dengan fakultas yang sudah membesarkanku selama empat tahun lebih ternyata cukup menimbulkan kesan juga di hati.   Sadar atau tidak sadar, benih cinta itu ternyata tumbuh juga.  Tanpa aku kehendaki, alam bawah sadarku telah menjadikan kota ini sebagai kampung halaman keduanya. Aku telah makan dari tanah dan minum dari air kota ini.  Mungkin setelah wisuda nanti, aku tiidak langsung akan pulang ke rumah.  Entah berapa hari, berapa bulan, atau berapa tahun, aku akan tinggal dulu di kota ini.

Pemeran Utama

Dunia ini panggung sandiwara.  Ceritanya mudah berubah.

Begitu mungkin bunyi sepenggal lirik lagu yang dibawakan Nicky Astria tahun 90'an berjudul Panggung Sandiwara. Hidup ini adalah seni peran dengan kita sendiri sebagai tokoh utama.  Uniknya dalam pentas drama ini, selain kita menjadi tokoh utama, dalam waktu bersamaan kita juga menjadi tokoh figuran dalam drama orang lain.  Seberapa penting peran kita dalam drama mereka tergantung dari seberapa besar orang itu mengizinkan kita "masuk" dalam kehidupannya.

Btw, selamat buat Dijah (Khodijah Mustaqimah) dan pasangan yang tanggal 13 Agustus kemarin telah melangsungkan pernikahannya.  Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warrahmah, menjadi jodoh dunia dan akhirat.

Kembali ke laptop. Aku adalah orang yang kurang begitu suka dengan keramaian.  Aku kurang begitu suka berada di dalam sebuah pesta, entah itu pesta pernikahan, pesta ulang tahun, pesta peringatan tujuh belasan, atau pesta-pesta lainnya yang dihadiri banyak orang.  Keramaian justru selalu berhasil membuatku merasa sendirian.  Keramaian justru selalu berhasil memperlihatkan padaku bahwa dalam hidup ini, aku hanyalah seorang figuran bagi kehidupan orang lain. Figuran yang kadang terlalu tidak berharga untuk mendapat perhatian dari orang lain, seolah-olah jika aku tidak hadir di sana, tidak ada yang berubah sama sekali.  Alur cerita tetap berjalan normal sebagaimana semula. 

Oh, bukan.. Aku bukan ingin diperhatikan atau ingin mencari perhatian orang lain.  Justru di sini aku sadar, bahwa aku telah gagal melakukan aktualisasi diri.  Dan sayangnya, aku tidak memiliki niat untuk merubahnya.  Kegemaranku dalam menyimak dan memperhatikan tingkah laku orang lain justru menjadikan diriku sendiri hanya bersikap sebagai penonton belaka.  Penonton yang jangankan menjadi tokoh pendamping pemeran utama, menjadi figuran pun tidak.

Teror



 

Judul : Teror
Penulis : Langit Kresna Hariadi
Penerbit : Narasi
.
"Gendonglah anakmu, dan mari kita hayati kematian kita bersama." (Halaman 812)

 Zumtaz Rizar Mahendra sedang bersama anak dan istrinya ketika sebuah bom meluluh lantakkan hotel yang dijadikannya tempat menginap.  Istrinya meninggal seketika di depan matanya.  Anaknya pun turut menyusul meskipun sudah mendapat pertolongan dari dokter rumah sakit. Zumtaz geram.  Kematian anak dan istrinya yang tragis membuatnya bertekad membalas dendam kepada siapapun pelaku yang terlibat dalam pengeboman tersebut.

Kucuran dana besar tidak segan-segan Zumtaz keluarkan demi melakukan aksi balas dendamnya. Berbagai tempat dia kunjungi untuk melacak para separatis yang diduga berasal dari jaringan Perca Merdeka, sekelompok orang yang menginginkan berdirinya Negara Perca di atas tanah Indonesia. Zumtaz terhubung dengan jaringan itu lewat Hiromi Nagayama, mahasiswa asal Jepang yang sedang melakukan penelitian doktoralnya tentang jaringan separatis ini. 

Secara kebetulan Zumtaz bertemu dengan Sonia Naday, wanita yang kemudian menjadi kepanjangan tangannya dalam melakukan berbagai aksi.  Sonia memiliki bakat terpendam yang menjadikannya cepat menyesuaikan dengan aksi yang sedang Zumtaz kerjakan.  Atas arahan Zumtaz, Sonia dilatih menjadi penembak yang handal.  Perlahan benih benih cinta mulai tumbuh dalam diri Sonia.  Kegigihan dan cinta Zumtaz kepada isteri dan anaknya membuat Sonia luluh dan bersedia mengabdikan diri sepenuhnya kepada laki-laki itu.  Zumtaz yang gusar setelah ditinggal oleh istri dan anaknya mendapat ketenangan dalam diri Sonia.  Mereka pun akhirnya menikah.

Meski mendapat berbagai rintangan, Zumtaz dan Sonia semakin mendekati tujuan mereka yaitu mengungkap jaringan teroris itu dan melakukan balas dendam, sampai suatu ketika, Zumtaz mendapat pesan dari wanita misterius yang justru mengungkap akhir dari aksi Zumtaz yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Novel bergenre thriller ini dikemas demikian apik oleh penulisnya.  Langit Kresna Hariadi (LKH) begitu terampil dalam menggambarkan situasi cerita sehingga kejadian yang diceritakan seolah olah benar-benar telah terjadi di kehidupan nyata.  Aliran cerita yang kadang kadang begitu tenang namun bisa berubah menegangkan dapat menghanyutkan pembaca hingga membaca lembar-demi lembar dari buku tidak terasa membosankan.



Jomblo: Sebuah Kitab Para Fakir Cinta


Judul : Jomblo
Penulis : Adhitya Mulya
Penerbit : Gagasmedia

Roses are red
Violets are blue
I am running around like a headless
chicken, dripping sweat,
Because of you

(Halaman 114)
.
"...Kamu adalah wanita. Kodrat kamu adalah dicinta, dipuja dan orang lainlah yang mengemis demi kamu"
(Halaman 208)

Doni, Bimo, Olip dan Agus adalah empat sekawan yang sama-sama kuliah di UNB, salah satu universitas negeri di Bandung. Keempatnya merupakan lelaki tunaasmara alias jomblo. Mahasiswa di UNB lebih banyak laki-laki dibanding wanita. Karena itu  mereka sering mengunjungi UNJAT, kampus lain di sekitar Bandung untuk sekadar "cuci mata" dan mencari gebetan di sana.

Olip sebenarnya memiliki wanita idaman yang telah dia taksir selama  tiga tahun.  Setiap hari Rabu dia selalu mengajak ketiga temannya untuk makan di kantin agar bisa melihat pujaan hatinya itu. Tiga tahun berlalu, Olip tak kunjung juga mendapat keberanian untuk mendekati wanita pujaannya, sampai di suatu hari dia nekad menghampiri wanita itu untuk berkenalan.  Namun bukannya terbuka kesempatan untuk bisa dekat dengan wanita itu, Olip malah mendapat suatu kejadian yang tragis.

Suatu ketika, Bimo mendapat telfon salah sambung dari seorang wanita.  Meski telah dikatakan salah sambung, wanita tersebut tetap saja menghubungi nomor yang sama.  Lama kelamaan, Bimo menjadi akrab dengan si penelfon misterisus itu, sampai akhirnya mereka sepakat untuk melakukan pertemuan. Berharap memiliki nasib bagus, Bimo malah mendapat sesuatu yang diluar dugaannya sama sekali.

Berbeda dengan Ketiga kawannya, Dani memiliki jam terbang cukup tinggi dalam masalah perempuan.  Pengalamannya yang banyak membuat dia dengan mudah mendapatkan seorang wanita untuk menjadi pacarnya.  Namun konsekwensi dari berpacaran dengan wanita itu begitu besar.  Dia harus memilih antara sahabatnya atau melanjutkan hubungan dengan wanita yang sudah terlanjur dicintainya.

Situasi yang rumit dihadapi Agus untuk memilih antara Rita, orang yang lebih dulu dipacarinya, atau Lani, selingkuhan yang juga Agus cintai.  Sifat Rita berbanding terbalik dengan Lani.  Bila Lani lebih pengertian, penyabar, dan tidak banyak menuntut, Rita malah selalu ingin dimengerti dan dituruti keinginannya.  Namun hal yang membuat Agus tidak bisa memutuskan Rita adalah sifat keibuan yang ada di diri Rita yang sejak awal menjadi sesuatu yang membuat Agus menyukai Rita. Meski sulit, Agus harus  membuat keputusan apakah bertahan dengan Rita atau memutuskannya dan melanjutkan hubungannya dengan Lani.

Novel Jomblo ini dibawakan penulis dengan sangat jenaka. Tidak seperti novel percintaan lain, novel ini justru lebih mengedepankan sisi humor dibanding romantisme antar lelaki dan wanita.  Meski demikian, banyak makna yang bisa diambil dari setiap bagian cerita, misalnya bagaimana kita menghadapi masalah dengan pasangan kita dan tidak lari atau berpaling dari masalah tersebut.


Neng, Aku Pamit


Neng, aku pamit. Bukan tidak betah, hanya ternyata sudah ada orang lain yang masuk dan duduk. Empat tahun labih aku di sini, menatap matahari dan bulan silih berganti tanpa tahu akhirnya seperti apa nanti.
Tidak perlu mengantarku sampai pintu. Di sana sudah ada tukang becak menunggu. 

Neng, terima kasih. Tempat ini wangi. Aku senang berlama lama di sini. Tapi, meski hidup itu penuh dengan hal tak pasti, aku sudah tidak boleh lagi menanti. Aku harus pergi.

Neng, aku harus kembali berjalan, mencari tempat untuk pemberhentian. Entah untuk tujuan atau lagi lagi hanya sebagai persinggahan. Bila kelak sudah kutemukan, mengingat atau melupakanmu memanglah sebuah pilihan.  Tapi tenang saja.  Seperti yang sudah sudah, aku paling pandai dalam menyimpan kenangan.