Dari Misi Kemanusiaan Menjadi Misi Pembalasan

TO hari ke dua, matematika sama biologi…

Bukan hal yang aneh jika gue ngga belajar sama sekali. Udah ada niat sih, udah pegang buku, tinggal naik ke atas, tapi Cuma sebatas niat. Ngedadak aja jadi males dan ga mood. Tidur tiduran, dan akhirnya tidur beneran. Hahaha….

Pukul 03.00
Alarm berbunyi
Dingin dingin kepaksa ngambil wudhu, bukan tahajud, tapi sholat isya. Parah pisan si gue… habis itu, dikit-dikit buka buku, biar ada proses dan usaha (cenah). Ngapalin matematika dari kelas 1, biologi dari kelas 1 pula dalam waktu 2 jam.. bisa dibayangin kan hasilnya gimana… untung aja darah Einstein mengalir dalam diri gue, haha…..

Pukul 07.30
Perang dimulai
Matematika, hm…awalnya sih pede abis, ngerjain beberapa soal, dan hasilnya ada di pilihan jawaban. Ngga tau deh bener engga nya.. dan kebiasaan, kalo udah ngerjain soal, segimana susahnya pasti berusaha dipecahin. Dan akibatnya, waktu tinggal 15 menit lagi, sedangkan soal yang udah kejawab cumin 12 butir, itu juga sebagiannya hasil nembak. Gila. Waktu tinggal 5 menit, ga ada waktu lagi buat mikir, apalagi ngotret. Dan bisa dibayangin, baru nembak 3 soal, bel udah bunyi. Gembel…

Pukul 12
Bubar.
Biasa, ngumpul-ngumpul bareng KGJ. You know KGJ? Hahaha….
Ketawa ketiwi, ngomongin ini itu, nyampe makan mie ayam bareng di sebrang sekolah. Ada sesuatu yang unik sih sebenernya pas kita makan mie ayam, tapi gue males ngebahasnya..
***

Bangun dari tidur siang, bukannya seger malah makin nyut-nyutan kepala. Ga biasa tidur siang sih… dan percayalah, sampai sore gini, gue belum berhubungan sama sekali dengan yang namanya pelajaran kimia ataupun English…. Suek., malah asik aja fb an ama twitteran…
Oh ya, ternyata hari ini adalah hari ultahnya F2B. baru tau gue. Maklum lah, Rezpector Goib yang ga ditampung di sana sini…
***



FINE
Misi pertama resmi terselesaikan. Entahlah hasilnya gimana, moga aja terbilang sukses. Misi yang aneh memang, tapi buat bahan pembelajaran, semua jadi masuk akal (menurut saya).

Misi ke dua
Dari misi kemanusiaan menjadi misi pembalasan.
Kau tahu apa yang aku pikirkan?
Ingin tahu?
Tentunya ngga akan aku beri tahu sebelum waktunya tiba. Penasaran? Syukurlah kalo engga, jadi rahasiaku terjamin aman. Sedikit aku kasih bocoran. Simaklah baik baik:
“Pernahkah kau merasa bahwa kau hidup di dalam sebuah novel? Seperti imaji padahal nyata? Percayalah, hidupmu berada di dalam sebuah novel”

Kau tidak mengerti bukan? Belum saatnya kau mengerti…

(08 Pebruari 2011)

Try To Resist My Mind

TSR...
Begitulah dia menulis tiga huruf di facebook-nya. Terasa aneh memang jika aku berharap bahwa tulisan itu adalah singkatan dari namaku.

***

Pukul 03.00
Alarm HP-ku pun berbunyi. Suaranya nyaring, menghentikan sebuah mimpi yang baru saja kualami. Mimpi yang aneh. Sejenak, aku duduk untuk mengumpulkan nyawa yang belum sepenuhnya melewati masa transisi.

Tombol HP kutekan satu persatu. Tak sampai tiga detik, aku sudah terhubung dengan internet. Layar log in fb pun terbuka. Dengan cekatan, jari jariku menekan tombol-tombol untuk masuk. Cepat sekali. Otakku sudah tak lagi harus memberi mereka komando. Beranda terbuka. Satu Pemberitahuan. Ah, ga penting. Lanjut lihat status-status orang lain, yang ada hanya status-status dari orang yang sama sekali tak kukenal.

Buka twitter
Layar home terbuka secara otomatis tanpa harus log in dulu. Tombol down berulang ulang kutekan sambil membaca satu persatu

Senyumku sedikit mengembang saat mataku sampai di sebuah tulisan. Ada rasa lega yang kurasakan walaupun tak kupungkiri ada rasa kecewa yang begitu dalam. Ak perlu kusebutkan tulisan siapa dan isinya apa.

Ayam jantan tetangga berkokok, dan aku sama sekali belum sholat isya. Kumatikan HP yang baterainya sudah hampir habis itu. Kuambil wudhu.

***

*_* : Kau terlalu rumit dengan pikiran-pikiran yang kau sebut perinsip
Saya : Ya, aku tahu
*_* : Kau berpikir seolah-lah kau adalah seorang filsuf yang hebat
Saya : Tidak. Aku hanya berusaha mengikuti pikiranku
*_* : Kau tahu, Aristoteles pun tak pernah mengabaikan istrinya
Saya : Apa dia menikah waktu hidupnya ? Aku baru tahu
*_* : Bullshit
Saya : Aku mengerti maksudmu
*_* : Lalu apa maumu ? Apa yang kau pikirkan ?
Saya : Entahlah
*_* : Bodoh
Saya : (diam)
*_* : Kau menyia-nyiakan kesempatan terbaik yang pernah datang padamu
Saya : Maksudmu ?
*_* : Itu adalah kesempatanmu untuk masuk, dan kau sama sekali tidak melakukan apa-apa
Saya : Aneh rasanya jika aku masuk saat itu dengan tiba-tiba
*_* : Dan itu memberi kesan bahwa kau sama sekali tak peduli
Saya : Aku peduli, walau aku tak melakukan apa-apa
*_* : Lalu apa bedanya dengan kau tak peduli?
Saya : Masih banyak orang yang peduli padanya
*_* : Dan itu bukan kau.
Saya : Aku akan masuk saat tak ada lagi orang yang peduli padanya.
*_* : Seperti pahlawan kesiangan ? manis sekali... Pengecut.
Saya : Kau tak akan mengerti jalan pikiranku
*_* : Dan kau sendiri tak mengerti jalan pikiranmu.


04 Januari 2011

Langit Malamku

Seperti biasa, kududuk di teras belakang rumahku, ditemani lonceng angin yang kubuat sendiri dari botol bekas obat sirup adikku. Menatap langit yang begitu menawan, tak ada bintang di sana, yang ada hanya sebuah purnama yang sempurna bentuk lingkarannya.

Sayup angin datang menghembus menyapa kulitku, menggantikan kehangatan dengan dingin yang perlahan merambat dalam tubuhku. Tentu lonceng anginku pun bergoyang, mengeluarkan bunyi merdu melebihi musik klasik sekalipun. Perlahan mengencang, kemudian diam, seiring dengan tiupan angin yang datang kemudian pergi lagi.

Aku tak peduli dengan omongan orang jaman dulu yang mengatakan bebunyian di malam hari itu dapat membangunkan arwah-arwah nenek moyang, lantas mereka menirukan bunyi-bunyian tersebut. Entahlah, tak ada satu logika pun yang bisa aku pahami untuk menerima perkataan itu. Yang jelas, aku suka sekali bunyi lonceng angin itu.

Puas menatap langit, pandanganku pun beralih ke arah tenggara. Tiba tiba dadaku sesak kala melihat lampu lampu yang menyala nun jauh di sana. Ah… aku tak mau menggambarkannya.

Tak kuat menahan sesak yang semakin menjadi, aku pun memejamkan mataku, menikmati rasa sakit yeng terus menerus menggerogoti dadaku.

Aku lantas berdiri, memegangi pagar bersi pembatas rumahku dengan tebing setinggi tiga meter kira kira. Dingin kurasa tanganku memegangnya. Mataku menatap lurus dalam-dalam. Kosong. Benar benar kosong. Entahlah, otakku rasanya berhenti mengirimkan sinyal sinyalnya.