Ada Cinta yang Harus Berbalas

Karena dirasa kebijakan pajak terhadap penulis tidak adil, Tere Liye memutuskan berhenti mencetak dan menerbitkan buku-bukunya. Penulis super produktif ini melakukannya sebagai bentuk protes kepada pemerintah. Tanggapan masyarakat pun beragam. Ada yang pro, tapi banyak pula yang kontra. Pihak yang pro mungkin menganggap masih kurangnya perhatian pemerintah, terutama masalah perpajakan, kepada kesejahteraan penulis. Penulis yang berperan penting dalam meningkatkan minat baca dan kecerdasan bangsa dirasa banyak dirugikan oleh pemerintah lewat pajak yang terlalu besar. Sementara yang kontra barangkali menganggap langkah Tere Liye ini emosional belaka.

Masalah minat baca masyarakat Indonesia yang rendah adalah penyakit kronis negeri ini. Lihat saja di sekeliling kita, berapa banyak orang yang kesehariannya bersentuhan dengan buku. Lihat seberapa banyak orang yang dirumahnya punya lemari buku yang terisi penuh. Lihat di stasiun, terminal, bandara, rumah sakit, dan tempat-tempat “menunggu” lain, berapa banyak orang yang menggunakan waktu menunggu mereka dengan membaca. Jarang! Tidak usah membandingkan dengan negara orang. Kita bercermin saja. Penyebabnya banyak. Selain kurangnya penanaman terhadap minat baca sejak dini, harga buku yang mahal menjadi salah satunya.

Mahalnya harga buku tidak lepas dari tingginya pajak yang dibebankan. Entah kepada penjual, penerbit, juga kepada penulis. Simpelnya, bila penjual, penerbit, dan penulis ingin mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi (setelah dipotong pajak), maka harga jual buku harus lebih tinggi pula.

GURU: Digugu Ditiru





Sumber beserta artikel : http://regional.liputan6.com/read/3085118/guru-yang-bikin-siswa-minum-racun-terkenal-sadis-di-sekolah  

Alkisah di suatu SMA Negeri di Tanjungsari, pernah ada murid namanya Wendy Clever dan seorang guru Kimia yang terkenal bengis kepada murid-muridnya.  Suatu ketika Sang guru mengumpulkan tugas yang sudah diberikannya.  Guru tersebut membaca nama salah satu muridnya, "Wendy Clever.  Ini Wendy Clever atau Wendy Stupid?" tanyanya dengan muka menyeramkan.

Karena sudah tidak tahan dengan sifat sang guru, di akhir semester kelas tersebut bertekad melakukan demo untuk mengganti guru Kimia itu dengan guru lain.  Untungnya, sebelum demo terlaksana, sang guru keburu pindah ke pulau lain yang jauh di sana karena suaminya dipindahtugaskan.


Meski guru juga manusia, murid pun sama sama manusia. Bukan robot apalagi boneka.

Jodoh

Suatu hari aku pernah ngobrol santai dengan seorang teman, sebut saja namanya Alam ( @alamsahfirdaus​ ) tentang suatu topik yang sebenarnya berat.  Namun karena kami membahasnya dengan makan sosis dan lesehan, jadinya sedikit santai. heheh.  Topiknya tentang Jodoh.  Mungkin karena kami berdua masih jomblo, single, tidak berpasangan, atau apalah disebutnya, pikiran kami jadi nyambung.  Banyak pemikiran yang kami berdua sepakati.


Kami berpendapat kalau pacaran adalah pemborosan.  Boros pikiran, uang, tenaga, dan waktu.  Terserah orang lain mau berpendapat apa.  Tapi kami sering menyaksikan sendiri, yang lama-lama pacaran dengan mesra belum tentu bersanding di pelaminan.  Belum penggalauan ketika putus dan patah hatinya tumpah di media sosial (kami sendiri juga pernah mengalaminya).


Kedua tentang taarufan.  Sejujurnya, aku pribadi sangat jauh untuk disebut sebaai pemuda yang Islami.  Tontonanku masih yang begitu begitu, musik favoritku masih yang teriak teriak, pakaianku masih serampangan, perilakuku banyak yang jauh dari syariat.  Tapi karena aku cukup jengah dengan keadaan, kami mungkin akan memutuskan akan taarufan.  Kadang lucu kalau sudah menyangkut hal ini.  Bagaimana kita berdua berangan-angan tiba-tiba datang ke rumah si wanita incaran tanpa terlebih dahulu banyak pemberitahuan. Kami sering menebak-nebak jawaban seperti apa yang akan diberikan Sang ayah si wanita incara ketika kami mengutarakan tujuan.


Akad nikah nanti, kami ingin yang sederhana saja.  Si Alam bahkan blak-blakan ingin tanya dulu apakah akad dan resepsi harus di laksanakan di gedung sewaan atau tidak.  Katanya, kalau si wanita incaran ingin meriah, kawanku itu lwbih memilih mundur saja. hahah...


Sejujurnya, kami lebih bisa dibilang pesimis daripada orang yang punya prinsip jika masalah resepsi pernikahan.  Kami berkaca pada keluarga sendiri, orang tua yang tidak bisa dibilang kaya raya, meski tidak  bisa dibilang miskin juga.  Orang tua kami hanya pegawai negeri biasa.  Gaji dan uang pensiunnya tidak akan bisa memenuhi biaya resepsi besar besaran.  Jikalau bisa, pasti hasil ngutang kesini ke sana.  Pesimisnya adalah pekerjaan dan penghasilan kami pun sampai kini belum jelas wujudnya. 

Rejeki itu urusannya Di Atas, katanya.  Mungkin kami hanya malu saja harus berdoa dan meminta untuk resepsi pernikahan yang besar besaran.

Komoditas Utama

Sejak Preman Serial Tukang Ojek Pengkolan (TOP), Preman Pensiun, dan seri seri lain berbasis situasi komedi (SitKom) tayang, muncul di dalam pikiranku sebercik harapan akan perubahan tayangan-tayangan pertelevisian Indonesia.  Ada sebuah titik terang di tengah "gelapnya" sinetron kejar tayang yang hanya mementingkan rating belaka tanpa pesan moral sama sekali.  Bagaimana tidak,  kebanyakan sinetron yang tayang di dalamnya melulu menceritakan penderitaan Si tokoh utama yang tertindas.  Meski baik, tokoh utama itu, entah kenapa, selalu mengalami penindasan dari tokoh antagonis.  Penderitaan dan air mata masih menjadi komoditas kebanyakan sinetron yang tayang di beberapa stasiun televisi Indonesia.

Belum lagi penokohan dalam cerita, seolahh hitam dan putih:  Protagonis digambarkan sebagai orang baik, santun, taat beragama, namun hidupnya selalu sengsara dan tertindas oleh tokoh antagonis.  Sedang Antagonis digambarkan sebagai orang yang bengis, licik, tidak berbelas kasih, selalu menindas, tapi anehnya hidupnya baik baik saja.  Pesan moral apa coba yang bisa diambil dari cerita seperti ini selain sabar, sabar, dan sabar?   Tidak bisakah si Protagonis sekali sekali berontak, bukankah kedzaliman akan semakin parah bila dibiarkan?  Sabar pun bukan berarti menerima begitu saja tanpa perlawanan, bukan?

Anehnya, sinetron sinetron yang komoditas utamanya air mata itu malah laku di pasaran.  Tayangnya tiap malam dan episodenya bisa mencapai ratusan.  Bandingkan dengan seri-seri Korea yang jumlah episodenya hanya belasan.

Ah, aku jadi membanding bandingkan produk dalam negeri dan luar negeri jadinya...  Bukan tidak cinta terhadap produk lokal.  Justru seharusnya para pelaku di industri persinetronan Indonesia harusnya belajar dari seri-seri luar negeri. Entah dari segi cerita atau hal lainnya. Seri Drama Korea yang tidak melulu menjual air mata saja bisa laku di dunia internasional, mengapa kita harus mempertahankan komoditas lama yang minim pesan moral dan pendidikannya?

Sebulan Ada di Rumah

Di kostan tidak tersedia tv. Ada sih tapi rusak dan antenanya ngilang entah ke mana. Jadi akses nonton tv sama sekali nol. Beda dengan di rumah. Tapi ko acaranya gini semua?

Dari sekian banyak acara, rasanya seolah “terperangkap” sejak tv dinyalakan. Mencet tombol up yang tayang seri-seri india. Mencet lagi tombol up, yang muncul acara musik alay. Mencet sembarang nomor yang tampil sinetron. Mencet tombol down ada berita yang bikin frustasi. Kalau ga bikin frustasi ya memihak. Mana boleh acara berita nayangin kebaikan kebaikan satu partai politik doang…

Kadang malah sering balik mikir, ini acaranya yang ga berkualitas atau memang salah selera. Jangan jangan tayangan tayangan seperti itulah yang bagus buat kita tonton. Jangan jangan kitalah yang salah telah menganggap tayangan tayangan itu buruk. Jangan jangan dunia memang semestinya berjalan seperti itu dan kitalah yang tidak bisa menyesuaikan…

Mungkin Bukan Aku

Mungkin bukan aku yang siap menemani masa masa sulit hidupmu, bertanya “sudah makan belum” tiap pagi dan malam, kemudian tiba-tiba bawa martabak manis kesukaanmu.

Mungkin aku bukan orang yang selalu ingat hari ulang tahunmu, selalu membawa kue berlilin dan kado berisi hadiah. Atau kejutan lainnya.


Mungkin bukan aku yang mau menemanimu begadang membuat proposal penelitian, membantumu mencari data, menemani susahnya membuat skripsi. Mungkin bukan aku yang mendampingimu saat sidang maupun wisuda.


Mungkin bukan aku yang siap antar jemput kamu mencari kerja, bangun subuh buta demi mengejar kereta yang akan kamu tumpangi. Mungkin bukan aku.


Mungkin bukan aku yang nanti memperjuangkanmu sepenuh hati, berani mendatangi bapakmu walau dengan kaki gontai bergetar, lalu berkata “izinkan saya meminang puteri bapak”


Mungkin bukan aku yang siap menua bersamamu, menghabiskan sisa nafas dan usia di sampingmu, menghadapi keriput wajah denganmu.

Namun percayalah, di dunia ini ada yang menjadikanmu tujuan hidupnya. Tapi mungkin bukan aku.

Sebuah Ketidaktahudirian

Alkisah, seorang ibu gerah melihat tingkah anak laki-lakinya yang saban hari semakin kurang ajar. Pergilah ia bersama suaminya ke rumah orang yang katanya bisa jampi-jampi. Orang orang menyebutnya dengan sebutan Pak Haji.

Di rumah Pak Haji, suami istri itu tidak langsung bisa menemui Pak Haji. Di dalam rumah masih ada “pasien” lain yang masih ditangani. Namun tak sampai setengah jam, tibalah giliran mereka.

“Ada pemaksudan apa kalian datang ke mari?” tanyak Pak Haji tepat setelah mereka duduk. Tanpa basa basi ramah tamah.

“Begini, Pak Haji,” Sang isteri memulai. “Anak kami kian hari kelakuannya semakin tidak beres. Kami ingin sifatnya berubah. Kami ingin dia menjadi anak sholeh. Tolong didoakan, ” pangkasnya.

“Perkara gampang itu,” jawab Pak Haji. “kalian sudah bawa airnya?”

Suami istri itu tampak kebingungan tidak mengerti. “Air apa, Pak Haji?” giliran si suami kini memberanikan diri bertanya.

“Air mineral saja. Buat diminum dan dimandikan. Satu botol cukup,” Pak Haji menjelaskan.

“Belum, Pak,” jawab si istri setelah melirik suaminya sekilas.

“Kalau belum, belilah satu botol di warung depan. Sekalian dengan kemenyan sebongkah,”

Si suami langsung bangkit dan keluar hendak membeli barang barang yang diperlukan. Tidak berselang lama, dia telah kembali membawa bungkusan kresek hitam. “Ini, Pak Haji,” katanya sambil menyodorkan sebotol air dan kemenyan.

Pak Haji bangkit dan masuk ke sebuah ruangan khusus.
“Tunggu di sini. Aku doakan di dalam,”

Empat puluh delapan menit kemudian, Pak Haji kembali dengan membawa sebotol air dan sebongkah kemenyan yang katanya telah didoakan. "Ini, kasih dia minum sebagian, sebagian lagi buat dia mandi.  Terus ini dibakar tiap habis Shubuh dan sebelum Maghrib," katanya sambil menyerahkan kedua barang tersebut.

Si istri itu lantas bertanya, "Ada amalan khusus lain tidak, Mbah. Eh, Pak Haji?"

"Gak usah. itu saja cukup.  Habis ini insya Allah dia bakal jadi sholeh," jawab pak haji.

Si suami itu kemudian pamit.  Sambil bersalaman dengan Pak Haji, diserahkannya sebuah amplop berisi uang lima puluh ribuan dua lembar.

***
***
***

Doa siapakah yang lebih makbul dari doa seorang ibu untuk anaknya?!!!

Orang tua yang menginginkan anaknya menjadi sholeh sedang mereka sholat pun jarang, adalah orang tua yang tak tahu diri!!!

Air dan kemenyan, ah sudahlah…