Komoditas Utama

Sejak Preman Serial Tukang Ojek Pengkolan (TOP), Preman Pensiun, dan seri seri lain berbasis situasi komedi (SitKom) tayang, muncul di dalam pikiranku sebercik harapan akan perubahan tayangan-tayangan pertelevisian Indonesia.  Ada sebuah titik terang di tengah "gelapnya" sinetron kejar tayang yang hanya mementingkan rating belaka tanpa pesan moral sama sekali.  Bagaimana tidak,  kebanyakan sinetron yang tayang di dalamnya melulu menceritakan penderitaan Si tokoh utama yang tertindas.  Meski baik, tokoh utama itu, entah kenapa, selalu mengalami penindasan dari tokoh antagonis.  Penderitaan dan air mata masih menjadi komoditas kebanyakan sinetron yang tayang di beberapa stasiun televisi Indonesia.

Belum lagi penokohan dalam cerita, seolahh hitam dan putih:  Protagonis digambarkan sebagai orang baik, santun, taat beragama, namun hidupnya selalu sengsara dan tertindas oleh tokoh antagonis.  Sedang Antagonis digambarkan sebagai orang yang bengis, licik, tidak berbelas kasih, selalu menindas, tapi anehnya hidupnya baik baik saja.  Pesan moral apa coba yang bisa diambil dari cerita seperti ini selain sabar, sabar, dan sabar?   Tidak bisakah si Protagonis sekali sekali berontak, bukankah kedzaliman akan semakin parah bila dibiarkan?  Sabar pun bukan berarti menerima begitu saja tanpa perlawanan, bukan?

Anehnya, sinetron sinetron yang komoditas utamanya air mata itu malah laku di pasaran.  Tayangnya tiap malam dan episodenya bisa mencapai ratusan.  Bandingkan dengan seri-seri Korea yang jumlah episodenya hanya belasan.

Ah, aku jadi membanding bandingkan produk dalam negeri dan luar negeri jadinya...  Bukan tidak cinta terhadap produk lokal.  Justru seharusnya para pelaku di industri persinetronan Indonesia harusnya belajar dari seri-seri luar negeri. Entah dari segi cerita atau hal lainnya. Seri Drama Korea yang tidak melulu menjual air mata saja bisa laku di dunia internasional, mengapa kita harus mempertahankan komoditas lama yang minim pesan moral dan pendidikannya?

0 komentar:

Posting Komentar