Balada Anak Padang Pasir (Part 2)

Seorang anak laki laki duduk di sebuah batu di padang luas. sikutnya ditopang oleh kaki yang langsung menginjak pasir putih tanpa alas. Pikirannya kosong. Dia terdiam sementara orang-orang yang memakai pakaian putih mirip pakaian ikhrom saling berlalu lalang melintasinya dari berbagai arah. Mereka tampak terburu-buru dan kebingungan. Apa yang mereka kejar ? Apa yang mereka khawatirkan?

Pikiran anak itu masih kosong. Matanya menatap lurus ke depan. Kakinya masih kokoh menopang sikut yang terasa semakin berat. mengapa ia hanya diam? Mengapa ia tak mengikuti orang lain berlari lari kecil? Mengapa ia juga tak menampakkan kekhawatiran seperti orang-orang yang berlalu lalang melewatinya?


(01 April 2011)

Sebuah Pentas Drama

Tiga hari terakhir ini sekolahku tercinta, SMA N Tanjungsari mengalami pergolakan yang luar biasa. Bukan karena ada isyu bom buku yang belakangan marak diberitakan di media massa, tapi karena suatu tulisan yang cukup membuat para penghuni sekolah tercengang.

“Mrs. Rukmini please leave my school. By all of students.” Begitulah kira kira kalimat yang tertulis rapi di selembar kertas yang ditempel di papan informasi di satu sudut sekolah kami. Tulisan itu di tik komputer. Mungkin agar pihak sekolah sulit melacak siapa pelaku yang telah berani menulis hal semacam itu.

Aku sempat tertawa saat pertama kali melihat tulisan tersebut. Bukan bermaksud meledek, hanya saja aku merasa heran, kok ada orang yang berani menempel tulisan seperti itu. Tapi jujur, kuangkat dua jempol tanganku untuk orang tersebut.

Awalnya kukira Kepala Sekolah akan mengabaikan tulisan itu begitu saja. Soalnya, beliau sama sekali tak menyinggung secara langsung mengenai tulisan itu dalam upacara bendera kemarin. Beliau hanya memberikan amanat biasa layaknya pembina upacara lain.

Selasa pagi, seluruh siswa digiring ke lapangan. Aku mengira ada suatu even penting sehingga kami harus melaksanakan upacara di hari selasa. Tanpa curiga sedikit pun, aku berjalan menuju lapangan sekolah. Belakangan, banyak orang yang bilang bahwa akan diadakan sidang terkait tulisan itu. Lha sidang gimana, emangnya udah ada tersangka penempel tulisan itu ?

Semua siswa tanpa kecuali berbaris menurut kelasnya masing masing. Guru-guru pun ikut hadir di lapangan. Setelah semua perlengkapan siap, Pak Jajang, Wakasek kesiswaan maju ke depan. Alisnya yang tebal mirip ulat bulu itu nampak turun naik seiring kata per kata yang diucapkannya. Sambil menunggu kepala sekolah turun, beliau membicarakan beberaoa hal kepada kami. Dan sayangnya, aku sudah tak ingat lagi apa yang beliau bicarakan.

Kepala sekolah pun muncul. Setelah menyalami guru-guru yang hadir di lapangan,beliau kemudian dipersilakan untuk maju. Tak nampak raut kekesalan sama sekali di wajah beliau. Satu hal yang mejadi perhatianku, benda yang berada di tangannya. Baru kali ini kulihat beliau hendak berbicara dengan membawa suatu teks bacaan.

Dengan suara dan gaya bicara yang khas, beliau memulai pembicaraannya. Kata demi kata, kalimat demi kalimat keluar dari mulutnya. Tanpa sadar, kami telah berada di tengah-tengah pembicaraan.

Aku tak bisa mengulang secara lengkap pembicaraan beliau. Tapi intinya, beliau murka terhadap orang yang berada di balik tulisan itu. Beliau mengancam mereka dengan pasal-pasal dalam KUHP yang hukumannya sangat teramat berat jika harus ditimpakan kepada seorang pelajar. Sengaja beliau bawa buku KUHP sebagai acuan dari ancaman beliau. Pasal yang terkait dengan masalah ini kurang lebih menurut beliau adalah pasal tentang pelecehan nama baik, penghasudan kepada orang lain untuk menjatuhkan seseorang, tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menjatuhkan seseorang dari jabatannya, dan sebagainya. Terkait dengan masalah ini, aku akan memberikan tanggapanku di akhir nanti.

Rabu sekitar pukul 9an, para para wakasek, para wali kelas, para guru BP, stap inti MPK dan OSIS, serta para KM hendak melakukan musyawarah dengan kepala sekolah terkait hal ini. Namun seperti yang dikatakan kelasku, kepala sekolah hanya memberikan keputusan begitu saja dan lantas meninggalkan ruangan musyawarah. What a bla bla bla... sanes musyawarah atuh ari keputusanna sepihak kitu mah... selepas kepala sekolah meninggalkan ruangan, yang lain terus melanjutkan musyawarah. Tak ada satu orang pun katanya yang setuju akan keputusan kepala sekolah mengeluarkan “para terdakwa”.

Selang beberapa menit sehabis musyawarah bubar, anak anak berbondong bondong pergi ke lapangan. Di tengah terik matahari yang menyengat, kami, aku tepatnya terpaksa harus duduk manis di tengah lapang. Ketiga wakasek tampil di depan kami. Aku sempat kebingungan dengan inti dan tujuan kami kesini. Mereka bilang kami berdemo. Apa? Siapa yang mau demo? Aku kesini karena digiring oleh salah seorang guru. Bahkan kukira kami hanya akan mendengan keputusan yang telah diambil. Lagian, aku yakin dengan seyakin yakinnya, anak anak yang lain pun tak bermaksud berdemo. Bahkan samar samar kudengar mereka datang ke lapangan hanya untuk menghindari pelajaran di kelas. “Mending papanasan tibatan kudu diajar di kelas mah.” Ironis sekali.

Keputusan final yang diambil setelah para wakasek bermusyawarah dengan kepala sekolah adalah, mereka tidak dikeluarkan. Tapi, ada sanksi dan ketentuan tertentu yang harus mereka jalani.

Awalnya, aku kurang tertarik akan masalah ini. Toh semuanya tak ada sangkut pautnya denganku. Tapi, Ibu guru PKn mengajarkan untuk memiliki budaya politik partisipan, atau setidaknya subjek, jangan parokial. Karena itulah aku ingin mengungkapkan pendapatku di sini.

Bukan berarti aku berada di pihak para pembuat tulisan itu, terlepas dari benar tidaknya cara mereka mengungkapkan pendapat, terlepas dari benar tidaknya cara mereka melakukan protes, terlepas dari hal-hal yang melatar belakangi mereka melakukan hal tersebut, kuangkat topi untuk mereka. Kuacungkan jempol untuk mereka yang berani protes atas sesuatu yang menurut mereka tidak sesuai dengan keinginan mereka. Mereka telah berani melakukan protes walaupun dengan cara-cara yang sangat teramat nekad. Setidaknya dengan adanya protes seperti itu, sekolah khususnya kepala sekolah harusnya mau berintrospeksi diri. Takkan ada asap jika tak ada api.

Terkait dengan pasal pasal pidana yang dibacakan, aku rasa ini sama sekali tidak berkaitan.

“Mrs. Rukmini please leave my school. By all of students.”

Dari kalimat tersebut, di mana letak yang menunjukkan pencemaran nama baik? Di mana letak yang menunjukkan adanya niat untuk menjatuhkan seseorang dari jabatannya? Di mana letak penghasudan kepada orang lain untuk menjatuhkan seseorang? Hanya mungkin yang menjadi suatu kesalahan fatal adalah tulisan “All of students”. Kenapa tidak langsung menulis nama mereka sendiri? Mengapa mereka mengatas namakan seluruh siswa? Bukankah tidak ada konfirmasi terlebih dahulu?

Menurutku yang buta hukum, tulisan tersebut hanya berupa permintaan kepada kepala sekolah untuk meninggalkan sekolah ini.

Aku memang buta hukum. Aku memang tak mengerti tentang hukum. Jika aku mengerti tentang hukum tentunya aku sudah menjadi seorang hakim, seorang jaksa, seorang pengacara, tidak menjadi pelajar seperti sekarang ini. Maka dari itu aku ingin belajar. Bimbinglah aku jika aku salah, jangan hanya bisa marah dan menyalahkanku.

“Para terdakwa” pun tidak sepenuhnya benar. Cara mereka yang terlampau nekad justru hanya akan menjadi bumerang bagi mereka. Kebebasan berpendapat memang seharusnya dijunjung tinggi, tapi harus dengan cara yang baik dan benar tentunya. Toh masih ada cara-cara yang legal yang bisa ditempuh untuk melakukan protes tersebut.

Perlu aku pertegas lagi, aku tidak berada di pihak manapun. Tidak di pihak “para terdakwa”, tidak juga berada di pihak kepala sekolah.

Wallohu a’lam

Balada Anak Kebingungan

Membohongi diri sendiri, membunuh logika yang tak terbantahkan, merobohkan tembok kenangan yang telah lama kokoh berdiri. Menyangkal akal, meruntuhkan pikiran, menipu perasaan dan emosi yang masih tetap bertahan.

Kuberdiri di tengah jalan, jembatan antara cinta dan kemunafikan, atau antara kemunafikan dan cinta. Lelahku samadengan elegiku untukmu, mendadak runtuh dan perlahan kembali tumbuh.

Kuberdiri di persimpangan, jalan dua arah yang sama sekali berlawanan. Antara baru dan lama, datang dan pergi, pengeluh dan ceria. Lelahku samadengan elegiku untukmu, mendadak runtuh dan perlahan kembali tumbuh.




(28 Maret 2011)

Dua Warna Pelangi



Dua warna pelangi

Terbit di halaman rumahku

Yang satu pucat pasi

Mungkin habis menangis

Yang satu tampak tertawa

Tak ada beban baginya

Dua warna pelangi

Terbit menembus kaca kamarku

Yang satu merah menyala

Yang satu hijau teduh

Dua warna pelangi

Terbit menembus kaca kamarku

(29 Maret 2011)