Kode-Mengkode

 Katanya, malu adalah perhiasan wanita. Dari sanalah barangkali muncul istilah "kode-mengkode". Cuma asal tahu saja, tidak semua laki-laki gampang atau suka diberi kode. Contoh:

Wanita (W) : kak, saya mau balikin buku punya kakak. Bisa ketemu di mana?
Lelaki (L): di kostan kakak bisa?
W: Kostan kakak di mana?
L: di Leuwi Kopo, setelah turunan polsek, sebelum jembatan, di sebrang rumah makan padang ada kost retno.
W: kakak sekarang ga lagi di kampus ya?
L: Enggak. Sekarang lagi di kostan
W: kakak ga ada rencana ke kampus?
L: kalau gak Sabtu mungkin Minggu
W: kak, kampus kebakaran lho, kakak ga mau bantu padamkan apinya?
(Kemudian si lelaki pun menelfon pemadam kebakaran)

Coba kalau dari awal si wanita dengan lugas bilang "Kak, aku ga bisa kalau di kostan kakak. Ketemu di kampus aja gimana?" mungkin urusan bisa lebih cepat selesai.

Fiersa Besari pernah bilang, Ibu Kartini dulu memperjuangkan emansipasi wanita itu bukan cuma untuk mempermasalahkan siapa yang harus nembak duluan. Mungkin bisa sedikit dimodifikasi: Ibu Kartini dulu memperjuangkan emansipasi wanita itu bukan cuma untuk kode-kodean doang.
Setelah ini, pasti banyak serangan dari para wanita: "Ah itu mah cowo-nya aja yang ga peka" dan sebagainya.

Memang. Tidak semua laki-laki dianugerahi sensitivitas yang tinggi. Tidak semua laki-laki suka dengan wanita yang terlalu banyak memberi kode.

"Terus yang salah itu cewe?"
Oh, tidak. Wanita kan tidak pernah salah. Ibu Kartini dulu memperjuangkan emansipasi itu bukan sekedar untuk menuding siapa yang salah.

"Terus harus gimana? Intinya apa"
Tanyakan saja pada Pak Domo.

Jual Printer dan Definisi Keberuntungan

Sebuah printer nganggur lama di kostan. Debu sudah memenuhi kardus yang membungkusnya. Bukan karena tidak terpakai, hanya saja cartridge atau kotak tinta printer itu bermasalah.

Aku sempat bikin iklan untuk menjual printer itu. Namun mungkin karenaharga yang kutawarkan terlalu tinggi ditambah keadaan cartridge-nya yang rusak, postingan jualanku pun tenggelam tanpa jejak.

Belum lama ini aku berpikir, kalau nanti aku diterima kerja di luar kota otomatis aku harus pindah, membawa semua barang yang ada di kostan. Barang-barang yang harus diangkut jumlahnya tidak sedikit. Kemudian aku berpikir untuk mengurangi barang barang itu dengan menjualnya. Munculah ide untuk kembali memposting printer di media sosial, kali ini dengan harga yang dikurang jauh dari harga semula. 

Tadi malam ada yang berkomentar, menawar printerku dengan harga yang lebih murah. Aduh, sudah harganya dikurangi, ditawar pula. Tapi daripada tidak terjual dan hanya memenuhi kostan, aku iyakan pula tawarannya.

Tiba waktu bertransaksi. Printer resmi jadi milik orang lain. Si pembeli percaya begitu saja dengan kardus yang kubawa, tidak memeriksa terlebih dahulu. Kalau aku berniat curang pasti pembeli itu rugi besar.
Tidak lama setelah transaksi, hujan turun langsung deras. Embak itu, si pembeli sudah hilang entah kemana, aku terjebak hujan. Meneduhlah aku di halte depan kampus. Hujan masih turun deras, satu pesan masuk ke ponselku, disusul dua pesan lainnya. Rupanya mbak pembeli mengirim foto hasil tes printernya. Dia bilang printernya langsung bisa dipakai. Tunggu. Hasil cetakannya bagus. Tinta hitam dan warnanya keluar. Ko bisa? Aku tanya apakah itu hasil ganti cartridge atau bukan, ternyata masih cartridge yang lama.

Aku sempat menyesal memberi harga yang rendah. Tapi untungnya tidak lama. Dilihat dari segi ekonomi mungkin aku rugi. Mana ada printer bagus dijual seratus ribu. Kemudian aku berpikir kembali, mengingat asal printer itu bermula, peran printer itu buatku, ditambah faktor keberuntungan si Mba, rasa sesal itu sirna.
Omong-omong, aku mendapat printer itu hasil dikasih seorang teman kost. Dia hendak pulang ke kampung halamannya dan malas membawa printer itu. Jadi, apakah aku rugi menjualnya dengan harga murah? Aku rasa tidak. Semua untung. Aku menerima uang hasil jual beli tanpa modal, si Mbak pembeli mendapat printer dengan harga rendah.

Lelaki Idaman

Di kampus dulu, ada seorang dosen laki-laki muda yang sedikit "nyentrik".  Mengapa aku sebut nyentrik?  Karena beliau berbeda denga dosen-dosen lainnya.  Beliau termasuk dosen pintar di kampus. Pendidikan magister dan doktoralnya ditempuh di luar neger.  Bahkan pendidikan S3-nya ditempuh di Swiss Federal Institute of Technology (ETH) Zurich, tempat di mana Albert Einstein pernah bersekolah.

Pendidikan yang tinggi, otak yang cemerlang, pengetahuan yang luas tidak menjadikan beliau bertinggi hati.  Penampilan beliau di kampus sangat sederhana dan bersahaja. Bahkan suatu hari ketika istrinya baru melahirkan anak keempat mereka, Beliau tidak sempat berganti baju, hanya mandi dan akhirnya pergi ke kampus, mengajar mahasiswa dengan memakai celana training.  Istri baru melahirkan namun beliau tetap tidak berlepas tanggung jawab untuk tetap mengajar di kelas.

Baru-baru kemarin, aku melihat beliau sholat Maghrib berjamaah di sebuah masjid di dekat tempat tinggalnya.  Teman bilang, beliau memang rutin shalat berjamaah di sana.  Bayangkan, untuk orang sesibuk itu, beliau masih menjaga shalat berjamaahnya.

Dari segi fisik-- sebenarnya aku merasa tidak enak memberi penilaian ini, tapi -- harus diakui, mungkin para gadis muda masih akan terpesona dengan wajahnya.  Belum lagi sorot matanya yang teduh membuat bapak yang satu ini terlihat berwibawa.

Aku kadang berpikir, kok bisa ada orang seperti beliau:  rupawan, cerdas, berwawasan luas, bersahaja, dan pasti kaya hati dan harta.  Aku yakin, siapapun wanita pasti ingin mendapat pendamping yang memiliki karakter seperti itu.

Lalu kenapa aku tidak meniru sifat-sifat itu? 
Ah, Bertindak tidak selalu semudah membuat tulisan.
Bertindak tidak selalu semudah berpikir dan berkhayal.
Bertindak sayangnya tidak selalu semudah mengajukan pertanyaan.

Review Film: Pay It Forward

http://www.imdb.com/title/tt0223897/mediaviewer/rm1417844992?ref_=tt_ov_i

Judul                 :  Pay It Forward
Tahun Tayang    : 2000
Sutradara          : Mimi Leder
Pemeran Utama : Haley Joel Osment (Trevor McKinney)
                           Helen Hunt (Arlene McKinney)
                           Kevin Spacey (Eugene Simonet)

Film yang diangkat dari novel karya Catherine Ryan Hyde ini bercerita tentang seorang anak berusia 11 tahun yang bermimpi mengubah dunia.  Berawal dari tugas yang diberikan gurunya di kelas dengan tema "Think of an idea to change our world--and put it into action", Trevor McKinney (diperankan oleh Haley Joel Osment) memiliki gagasan yang dinamainya Pay it Forward.  Pay it Forward sendiri adalah gagasan untuk menolong 3 orang yang sedang dalam kesulitan besar dan memerlukan orang lain untuk menolongnya.  3 orang yang kita tolong itu harus melakukan kebaikan  kepada 3 orang berikutnya sebagai balasan atas pertolongan yang ia terima.  Begitu seterusnya.  terus berantai.

Target pertama Trevor adalah Jerry, seorang gelandangan dan pecandu narkoba.  Trevor menolong Jerry dengan memberinya makan, membiarkannya menginap di garasi selama beberapa hari, dan memberi Jerry sejumlah uang yang digunakannya untuk membeli baju dan sepatu.  Dengan baju dan sepatu itu Jerry akhirnya mendapat pekerjaan.  Namun, Jerry ternyata tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan narkoba.

Target selanjutnya adalah gurunya sendiri, Mr. Simonet.  Travor berusaha menjodohkan Mr.  Simonet dengan ibunya sendiri.  Namun sayang, ketika ayah Trevor kembali, Mr.  Simonet tidak berani untuk mengambil tindakan dan memilih untuk pergi menjauh.

Target ketiga adalah temannya sendiri, Adam, yang selalu mendapat gangguan dari anak lain.  Ketika Adam diganggu, Trevor tidak bisa menghentikannya.

Trevor menganggap Pay It Forward gagal.  Dia berpikir dia bahkan tidak bisa membantu tiga orang targetnya.  Padahal, di luar itu, ternyata Pay It Forward berjalan dan berhasil membantu banyak orang. 

Gagasan Pay It Forwar yang dimunculkan dalam cerita adalah gagasan yang sederhana tapi mampu memberi efek yang besar.  Bayangkan bila semua orang di dunia mempraktikannya.  Dunia pasti menjadi lebih baik. Dunia ini berjalan dengan sebuah sistem.   Masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab untuk membuat dunia menjadi lebih baik.

Gambar diambil dari sini

Pay It Forward

Sebelumnya, aku berniat untuk tidak menulis selama bulan Februari ini.  Dengan menulis tulisan ini, berarti aku telah melanggar niatku itu.  Ada banyak hal yang perlu dipikirkan, dibenahi dan diperbaiki. Seperti yang dirasakan temanku, Alamsah yang ditulisnya dalam tulisan berjudul Menulis untuk Menulis , aku pun kurang lebih merasakan hal semacam itu.  Ternyata efek samping dari menuliskan segala sesuatu adalah, kita menjadi sok, kita menjadi sok bijak, dan yang paling parah, kita menjadi haus perhatian orang lain. Kita menjadi kecewa ketika tidak ada orang lain yang membaca tulisan kita.  Kita menjadi kecewa ketika tidak ada orang lain yang memberi like atau komentar di tulisan kita.  Kita menjadi begitu riya dan ingin diperhatikan, dan itu tidak baik.  Karenanya, aku ingin berpikir kembali dan meluruskan niat.

Namun, si Alamsah juga memberi banyak pelajaran lewat tulisannya, memberi arahan untuk kembali meluruskan niat.  Toh, untuk berpikir kita tidak selalu harus berhenti dulu.  Kita bisa melakukan perbaikan sambil terus  "berjalan".

Hal lainnya, konsekwensi dari seorang penulis  orang yang suka menulis adalah dia harus bisa mengamalkan apa yang dia tulis.  Seorang penghkotbah harus bisa mengamalkan apa yang dikhotbahkannya.  Ini berat.   Tanggung jawab moral ada di sana.  Tapi, itu tidak boleh menyebabkan kita berhenti, bukan?  "Sampaikanlah walau satu ayat!"  Begitu kurang lebih Baginda Rasul berucap.  Kita tidak akan sampai di tujuan bila kita tidak mulai melangkah, bukan? "Bila kita takut takut di perempatan, mobil gak jalan jalan, kapan sampai tujuan" (Pandji Pragiwaksono-Tangan Kotor)

Jadi, di sinilah kita berada.

Ketika masih tinggal di asrama, aku pernan nonton film berjudul Pay It Forward yang tayang tahun 2000 (Kalau mau copy bajakannya aku masih menyimpannya di hardisk).  Film yang diangkat dari novel karya Catherine Ryan Hyde ini bercerita tentang seorang anak berusia 11 tahun yang bermimpi mengubah dunia.  Berawal dari tugas yang diberikan gurunya di kelas dengan tema "Think of an idea to change our world--and put it into action", Trevor McKinney (diperankan oleh Haley Joel Osment) memiliki gagasan yang dinamainya Pay it Forward.  Pay it Forward sendiri adalah gagasan untuk menolong 3 orang yang sedang dalam kesulitan besar dan memerlukan orang lain untuk menolongnya.  3 orang yang kita tolong itu harus melakukan kebaikan  kepada 3 orang berikutnya sebagai balasan atas pertolongan yang ia terima.  Begitu seterusnya.  terus berantai.

Berangkat dari sana, kenapa kita tidak mencoba mengamalkan teori Pay It Forward ini?   Tidak perlu persis seperti yang diceritakan di film. Kita bisa memodifikasinya sesuai keinginan kita.  Misal:   Ketika seorang teman berulang tahun atau baru selesai sidang kuliah, atau baru diterima kerja, atau hal membahagiakan lain, lantas dia mentraktir kita makan, mengapa kita tidak menetapkan tekad pay it forward, bahwa kita akan membayar kebaikan teman kita kepada orang lain, misal dengan memberi makan anak jalanan, atau menyisihkan sebagian uang kita untuk beramal.  Maksudku, ketika teman kita itu mentraktir, kita hitung berapa uang yang harus kita bayar seandainya dia tidak jadi mentraktir, lalu sebagian nilai itu kita ambil dari uang kita sendiri untuk disisihkan untuk beramal.

Andi ulang tahun.  Dia mentraktirku makan pizza yang harganya Rp 30 000,- Dua hari kemudian aku masuk masjid dan melihat kotak amal.  Aku memasukkan Rp 5 000,- sebagai balasan atas kebaikan Andi tempo hari.  Andi memang tidak mengharap balasan.  Aku juga tidak memiliki kewajiban menyisihkan uang lima ribu itu.  Tapi perlu diingat juga, bila Andi tidak mentraktir, aku tidak akan memakan pizza. Kemungkinan lainnya, aku memakan pizza tapi harus mengeluarkan uang Rp30000.- untuk membayar.  

Konsep sederhana namun bisa berpengaruh hebat bila semua orang melakukannya.  Dunia ini berjalan dengan sebuah sistem.   Masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab untuk membuat dunia menjadi lebih baik.