Pay It Forward

Sebelumnya, aku berniat untuk tidak menulis selama bulan Februari ini.  Dengan menulis tulisan ini, berarti aku telah melanggar niatku itu.  Ada banyak hal yang perlu dipikirkan, dibenahi dan diperbaiki. Seperti yang dirasakan temanku, Alamsah yang ditulisnya dalam tulisan berjudul Menulis untuk Menulis , aku pun kurang lebih merasakan hal semacam itu.  Ternyata efek samping dari menuliskan segala sesuatu adalah, kita menjadi sok, kita menjadi sok bijak, dan yang paling parah, kita menjadi haus perhatian orang lain. Kita menjadi kecewa ketika tidak ada orang lain yang membaca tulisan kita.  Kita menjadi kecewa ketika tidak ada orang lain yang memberi like atau komentar di tulisan kita.  Kita menjadi begitu riya dan ingin diperhatikan, dan itu tidak baik.  Karenanya, aku ingin berpikir kembali dan meluruskan niat.

Namun, si Alamsah juga memberi banyak pelajaran lewat tulisannya, memberi arahan untuk kembali meluruskan niat.  Toh, untuk berpikir kita tidak selalu harus berhenti dulu.  Kita bisa melakukan perbaikan sambil terus  "berjalan".

Hal lainnya, konsekwensi dari seorang penulis  orang yang suka menulis adalah dia harus bisa mengamalkan apa yang dia tulis.  Seorang penghkotbah harus bisa mengamalkan apa yang dikhotbahkannya.  Ini berat.   Tanggung jawab moral ada di sana.  Tapi, itu tidak boleh menyebabkan kita berhenti, bukan?  "Sampaikanlah walau satu ayat!"  Begitu kurang lebih Baginda Rasul berucap.  Kita tidak akan sampai di tujuan bila kita tidak mulai melangkah, bukan? "Bila kita takut takut di perempatan, mobil gak jalan jalan, kapan sampai tujuan" (Pandji Pragiwaksono-Tangan Kotor)

Jadi, di sinilah kita berada.

Ketika masih tinggal di asrama, aku pernan nonton film berjudul Pay It Forward yang tayang tahun 2000 (Kalau mau copy bajakannya aku masih menyimpannya di hardisk).  Film yang diangkat dari novel karya Catherine Ryan Hyde ini bercerita tentang seorang anak berusia 11 tahun yang bermimpi mengubah dunia.  Berawal dari tugas yang diberikan gurunya di kelas dengan tema "Think of an idea to change our world--and put it into action", Trevor McKinney (diperankan oleh Haley Joel Osment) memiliki gagasan yang dinamainya Pay it Forward.  Pay it Forward sendiri adalah gagasan untuk menolong 3 orang yang sedang dalam kesulitan besar dan memerlukan orang lain untuk menolongnya.  3 orang yang kita tolong itu harus melakukan kebaikan  kepada 3 orang berikutnya sebagai balasan atas pertolongan yang ia terima.  Begitu seterusnya.  terus berantai.

Berangkat dari sana, kenapa kita tidak mencoba mengamalkan teori Pay It Forward ini?   Tidak perlu persis seperti yang diceritakan di film. Kita bisa memodifikasinya sesuai keinginan kita.  Misal:   Ketika seorang teman berulang tahun atau baru selesai sidang kuliah, atau baru diterima kerja, atau hal membahagiakan lain, lantas dia mentraktir kita makan, mengapa kita tidak menetapkan tekad pay it forward, bahwa kita akan membayar kebaikan teman kita kepada orang lain, misal dengan memberi makan anak jalanan, atau menyisihkan sebagian uang kita untuk beramal.  Maksudku, ketika teman kita itu mentraktir, kita hitung berapa uang yang harus kita bayar seandainya dia tidak jadi mentraktir, lalu sebagian nilai itu kita ambil dari uang kita sendiri untuk disisihkan untuk beramal.

Andi ulang tahun.  Dia mentraktirku makan pizza yang harganya Rp 30 000,- Dua hari kemudian aku masuk masjid dan melihat kotak amal.  Aku memasukkan Rp 5 000,- sebagai balasan atas kebaikan Andi tempo hari.  Andi memang tidak mengharap balasan.  Aku juga tidak memiliki kewajiban menyisihkan uang lima ribu itu.  Tapi perlu diingat juga, bila Andi tidak mentraktir, aku tidak akan memakan pizza. Kemungkinan lainnya, aku memakan pizza tapi harus mengeluarkan uang Rp30000.- untuk membayar.  

Konsep sederhana namun bisa berpengaruh hebat bila semua orang melakukannya.  Dunia ini berjalan dengan sebuah sistem.   Masing-masing dari kita memiliki tanggung jawab untuk membuat dunia menjadi lebih baik.
 

0 komentar:

Posting Komentar