Lampu yang Tidak Bersinar

Ketika SMA saya mengikuti ekstrakurikuler bernama Hikmatul Iman.  Stop! Tunggu dulu! Jika yang anda pikir tentang ekskul saya itu semacan pengajian di masjid, belajar ceramah atau khotbah, ngaji ngaji kitab kuning semacam rohis, anda salah besar.  Di Hikmatul Iman saya belajar ilmu beladiri yang terdiri dari ilmu fisik (ilmu silat) dan ilmu metafisik (ilmu kebatinan).  Jangan salah lagi, yang saya maksud ilmu kebatinan bukanlah ilmu tentang guna guna, sihir, santet dan sebagainya yang menggunakan bantuan jin atau mantra mantra.  Ilmu kebatinan yang ada di Hikmatul Iman adalah Ilmu yang terkandung di alam, bahwa alam memiliki energi yang besar yang bisa kita serap untuk mengoptimalkan kerja tubuh kita.

Guru saya adalah orang yang banyak bicara. Dia sangat suka memberikan “ceramah” ketika latihan telah usai.  Guru saya bukanlah seorang kyai.  Dia bahkan jauh dari kesan tersebut.  Rambutnya gondrong acak acakan, tampilannya slengean, cara bicaranya pun tidak halus seperti ustad ustad yang sedang ceramah di pengajian. Tapi harus diakui, saya mendapat banyak pelajaran tentang hidup dari dia.

Salah satu isi “ceramah” yang saya ingat adalah puasa itu merupakan ajang penggemblengan diri, bukan untuk bermalas malasan.  Kita dianjurkan beritikaf di masjid, tapi percuma saja kalau di masjid kita hanya tidur.   Tidak ada berkahnya.  Kita itikaf di masjid, dzikir, ngaji Qur’an siang malam, tapi urusan dunia kita abaikan, itu juga hampa.  Jangan cari aman! begitulah kira kira yang dia sampaikan.

Ibu Rumah Tangga




Suatu hari aku mengobrol dengan salah satu teman wanita.  Dia berkata bahwa dia bukanlah orang yang work oriented.  Setelah lulus nanti dia malah lebih ingin menjadi ibu rumah tangga dibanding bekerja. Ini menarik, pikirku dalam hati.  Tapi sayang waktu itu kami sedang berada di atas motor sehingga aku tidak memiliki kesempatan membahasnya lebih dalam.

SNSD


Ya Allah, meski mereka (katanya) pada operasi plastik, tapi mereka emang cantik.

Divine

Kuhentikan langkah lariku yang telah kulakukan hingga saat ini.  Aku tertegun melihat jalan terjal di depan yang harus kulalui sedang kakiku sudah tak mampu melangkah lagi.  Aku membalikkan badan, menatap jejak jejak kaki yang masih tersisa.  Jauh sudah jarak yang telalh kulalui.  Akhirnya pertanyaan yang kutakutkan muncul juga, untuk apa kulakukan semua ini?
Tiba juga aku di persimpangan jalan. Aku hilang arah.  Untuk apa semua ini kulakukan?  Ke mana sebenarnya aku harus melangkah? 

Setengah menjatuhkan diri, kurebahkan tubuhku di atas tanah.  Langit luas kini terbentang tepat di depan mataku.  “Langit ini, dunia ini, terlalu luas.  Aku lelah,”  kataku.  aku merasa kehilangan diriku sendiri.  Lelah ini benar-benar membunuhku perlahan. Tak terasa, tetes demi tetes mengalir dari balik mataku.  Aku kenapa?  Apa yang salah dengan diriku?

Kumohon, ulurkan tanganmu! Aku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi.  Selamatkan aku dari semua ini.  Bawalah aku ke manapun kau ingin pergi.  Seberapa terjal jalan itu, pasti kulalui.  Aku sungguh telah lelah berjalan sendiri.

Kau tahu besarnya arti dirimu untukku?  Sesungguhnya jika hidup dan dunia yang kumiliki ini kau pinta, maka aku akan menyerahkannya.  Sebab tak kuasa lagi kujalani semua ini sendiri.   Kamu adalah semua kekuatan yang kumiliki.  Maka sekali lagi, kumohon ulurkan tanganmu, maka aku akan menjadi sekuat apa yang kamu mau.

We are always one, we can be divine