Kemarau

Jam di laptop menunjukkan angka 11:43 malam. Kantuk sebenarnya sudah mulai memenuhi ubun-ubun kepala.  Mata pun sudah meminta untuk dipejamkan.  Hanya saja, pikiran masih mau melayang ke mana-mana.  Padahal, tak tentu juga arah yang menjadi tujuannya.

Well.  Akhir-akhir ini memang sering sekali saya merasa kebingungan sendiri:  Merasa ada yang harus dipikirkan tapi bingung sendiri harus mikir apa, merasa ada yang hilang tapi tak mengerti apa yang hilang, merasa ada yang harus dicari tapi bingung nyari apa dan di mana.

Lalu sampailah saya pada suatu hipotesis:  Jiwa saya sedang mengalami kekeringan hebat.

Betapa rasanya diri ini semakin hilang saja, semakin tak tentu arah. Semakin kabur saja pandangan akan arah dan tujuan hidup. Apa hidup ini hanya untuk menunggu mati?

 Sholat yang dulu tak pernah bolong, kini ada saja waktu yang tertinggal.  Puasa yang dulu sunnah pun dikerjakan, sekarang mana pernah?. Mata, tangan, dan seluruh anggota badan lain sudah tidak malu lagi bermaksiat.  Bahkan saat tulisan ini aku buat, aku belum melaksanakan shalat Isya. Ada apa dengan diri ini?



Sepotong Kue yang Masih Tersisa

"Kenapa seseorang tak bisa betah bersama seseorang yang lain sampai ujung waktu nanti?"

Mungkin kebanyakan orang menganggap perpisahan bukanlah sesuatu yang besar. perpisahan memang harus dijalani. Mungkin kebanyakan orang memiliki anggapan bahwa kita sebenarnya memang sedang melakukan perjalanan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu persinggahan ke persinggahan lain. Toh Setelah semua kebutuhan terpenuhi di persinggahan tersebut, yang perlu dilakukan adalah kembali melanjutkan perjalanan.

Entah aku yang terlalu bodoh atau mereka yang tidak mengerti. Bukankah justru di tempat persinggahan itulah kita harusnya menari dan bernyanyi, menikmati kebersamaan dengan orang yang kita cintai, mengumpulkan kenangan dan memori indah untuk bekal kita di perjalanan selanjutnya.?

Lalu apa artinya perpisahan?
Arrgh,... mengapa jiwa ini begitu amat sangat merisaukan perpisahan?
Mungkin   bukan perpisahan yang aku risaukan, melainkan bagaimana cinta yang telah terjalin dengan orang-orang terdekat di persinggahan ini akan segera berakhir. Dan, mengapa tidak kita bisa menikmati "sepotong kue yang masih tersisa" sebelum akhirnya habis, atau basi, atau dimakan semut.? Mengapa sulit sekali memahami bahwa sebenarnya perpisahan adalah bagian dari pertemuan? Mengapa sulit sekali memahami bahwa kenangan adalah sebuah bekal yang indah yang bisa kita dapat dari sebuah persinggahan?