Pernah Aku Bertanya

Pernah kutanya mentari, “Apakah sinarmu selalu diterima bumi ?”
“Tidak, kadang awan tebal membuat kebaikkanku terlupakan.”
Pernah kutanya malam hari, “ Apakah kau hanya bisa memberi kami kegelapan?”
“Tidak. Aku punya bulan dan bintang yang selalu memberi keindahan.”
Pernah kutanya pelangi, “ Mengapa orang orang menyebutmu cantik, bukankah kau hanya sekumpulan dari sekian banyak warna?
Dia tak menjawab. Tersinggung mungkin dengan pernyataanku.

Lalu kutanya mentari, malam hari, dan pelangi,” Apakah aku berdosa jika kusalahkan Adam atas semua yang terjadi ? Mungkin jika Khuldi tak pernah ia makan, kita akan terlahir di Surga. Mungkin tempat kita hidup adalah Surga.
Mereka tak menjawab, hanya menatapku lama dengan tatapan yang aneh.




(12 Maret 2011)

Friendship is (not) Bullshit


Aku berjalan sendiri di salah satu koridor sekolah. Walaupun orang berlalu lalang di depanku, dibelakangku, disamping kanan kiriku, aku tetap merasa sendiri. Tak ada satu orang pun dari mereka yang mengajakku berbicara, bahkan hanya untuk mengucap kata “Hai!”. Aku tak layaknya adalah angin lalu bagi mereka.

Sebuah suara terdengar menyapaku, akhirnya. Aku amat kenal dengan suara ini. Suara sedikit cempreng khas seorang gadis. Dengan wajah datar aku menoleh ke arah datangnya suara itu. Senyumnya mengembang begitu saja. Aku hanya membalasnya dengan datar dan dingin.

***

Mungkin aku bukanlah seorang pencerita yang baik, pencerita yang bisa benar-benar menggambarkankan sesuatu yang diceritakannya, yang dipikirkannya. Tapi aku akan mencoba bercerita dengan gayaku sendiri.

Tak perlu kuceritakan tentang latihan senam anak kelas XII IPA 3 yang kacau balau. Yang ingin kuceritakan adalah tentang sesuatu yang menurutku lebih mengharukan daripada tenggelamnya Jack Dawson dalam film Titanic, lebih menggembirakan daripada kabar menangnya Taufik Hidayat dalam Piala Thomas, dan lebih mengasyikkan daripada nonton konsernya Bondan Prakoso and Fade 2 Black dalam acara musik yang akhir-akhir ini selalu menampilkan penyanyi-penyanyi baru yang menurutku kurang bermutu dan asal-asalan.

Minggu 13 Maret 2011

Hari ini bukanlah kali pertama kami berkumpul bersama. Sebelum-sebelumnya, kami sering berkumpul, baik di tempat biasa, maupun di tempat yang tidak biasa seperti hari ini. Jatos, tempat ini bukanlah tempat yang bisa setiap hari kami--setidaknya aku-- bisa kunjungi. Kebanyakan terjadi begitu saja tanpa direncanakan, namun bagai sebuah air, air yang mengalir selalu lebih sejuk dibandingkan dengan air yang tak mengalir.

Awalnya, hanya aku dan si Via yang akan pergi ke Jatos. Kami ingin membeli kado buat si Asep. Walaupun hari ulang tahunnya sudah lama sekali, tapi tak ada salahnya jika kita memberinya saat ini. Seperti sebuah hutang rasanya jika sahabat kita berulang tahun, tapi kita tidak memberinya sesuatu apapun. Maka dari itu kami ingin memberinya sesuatu. Namun, yang lain malah mengajakku untuk pergi, ya sudahlah, tak enak juga kan kalau aku menolaknya dan nanti di Jatos tiba tiba kami bertemu.

Dia Orangnya aneh, lebih tepatnya unik, tak mudah ditebak, sehingga kami kebingungan memilih kado yang cocok untuknya. Namun pada akhirnya, ada suatu benda yang menurut kami sangat unik dan menarik. Harganya pun lumayan cocok untuk kami, terutama untukku yang sedang mengalami krisis keuangan.

Tanpa banyak basa-basi, kami langsung memberikan hadiah itu. Ekspresinya memang datar, tapi aku yakin dalam hatinya ia sangat merasa bahagia. Aku juga yakin, dia bisa menghargai pemberian kami itu.

Setiap pertemuan selalu ada tema yang menarik untuk dibicarakan. Selalu ada tema yang bisa membuatku tertawa lepas. Kali ini pun demikian. Kami tertawa bersama, mengobrol kesana kemari. Aku benar-benar merasakan suasana persahabatan. Begitu menggembirakan. Sampai akhirnya, aku sadar bahwa sebentar lagi semua ini akan berakhir. Semua akan berpisah. Tak ada yang abadi. Memang bibirku masih bisa tertawa dengan lelucon-lelucon mereka. Tapi dalam hati, aku begitu kecewa, sangat kecewa. Mengapa persahabatan yang begitu indah ini harus berakhir begitu saja. Waktu 3 tahun terlalu singkat untuk suatu hal bernama persahabatan.

Mereka adalah orang-orang yang membuatku percaya bahwa persahabatan bukanlah sebuah omong kosong belaka. Persahabatan itu nyata. Persahabatan itu ada. Bersama mereka, aku bisa tertawa lepas. Bersama mereka, aku bisa menjadi diriku sendiri. Bersama mereka, aku tak pernah merasa sendiri dan dikucilkan. Bersama mereka, aku merasa ada yang mau menerimaku apa adanya. Kenangan yang tak akan pernah mungkin bisa kulupakan. Terima kasih.

Untuk Alamsah Firdaus, Asep Ridwan Ali, Nuravianti Kosasih, Eri Anshori Nurhadi, Arief Maulana, Teguh Suseno, Fadjri Firdaus, Rian Saepuloh, orang lain yang masih mau menganggapku sahabat, dan seseorang yang saat ini aku cintai, tulisan ini ada karena kalian. Tulisan ini ada untuk kalian. I’ll never forget you..

The Most Stupid Thing that I've done

07 Maret 2011

Ujian Sekolah hari pertama, Bahasa Indonesia-PAI

Jam pertama berlangsung monoton, membosankan. Soal-soal yang keluar seperti biasa kebanyakan bacaan dan pemahaman. Cukup mudah sih kalau kita benar-benar paham materi sama teliti ngerjainnya.

Istirahat

Apa ini ? anak-anak pada nyiapin kertas contekkan. Aku kira kelas IPA 3 doang yang dapet bocoran jawaban, ternyata kelas lain juga sama. Wah... ga bener ini. Dan percayalah jika kubilang hampir semua anak di ruanganku menyiapkan kertas contekkan. Orang-orang yang kuanggap pintar pun sama dengan yang lain, nyiapin juga “catetan kecil”.

Apa aku harus melakukannya ? Tidak, pantang bagiku untuk berbuat seperti itu (kecuali kalau kepepet, hehe...). Namun, keyakinanku pun mulai goyah, takut jika soal-soal yang keluar meleset dari perkiraanku. Mungkin ini bisa masuk dalam kategori kepepet. Dan asal kau tahu, aku sama sekali belum menghapal pelajaran ini.

Keyakinanku runtuh. Dengan sangat sadar kutulis bocoran itu dalam selembar kertas kecil. Kusilipkan di papan alas serapi mungkin.

Bel masuk berbunyi setelah beberapa saat kusembunyikan kertas bocoran itu. Para pengawas kemudiam membagikan soal beserta lembar jawaban.

Kubuka lembar soal halaman pertama dan seterusnya. Soal nomor 1, meneruskan penggalan ayat dari surat Al-Baqarah ayat 30, soal yang sangat mudah bagiku. Aku sedikit tersenyum saat membaca penggalan ayat ini. Ada sebuah kenangan bersama ibuku tentang ayat ini, yang muncul begitu saja tanpa kuperintahkan. Tapi tak perlu kuceritakan kenangan itu di sini.

Pengawas I menghampiriku, menyuruhku menandatangani berkas absen. Aku agak kaget ketika beliau mengambil papan alasku. Darahku serasa memenuhi ubun-ubun. Otakku berhenti berpikir. Tapi untunglah, beliau hanya melihat kelengkapan data dalam lembar jawabanku, dan berlalu setelah aku selesai membubuhi tanda tangan di setiap berkas.

Soal demi soal berhasil kujawab tanpa melihat kertas kecil yang telah kuselipkan tadi, sampai pengawas ke II datang untuk mengumpulkan kartu peserta. Dengan sangat hati-hati kucabut kartu yang kupakai menutupi kertas kecil itu pelan-pelan supaya kertas itu tidak ikut tercabut, dan sial, kertas berengsek itu malah ikut keluar, muncul tanpa bisa kutahan. Darahku benar-benar memenuhi ubun-ubunku kali ini. Seperti ada getaran listrik yang menyengat seluruh tubuhku. Gembel... padahal, asal kau tahu saja, kertas sialan itu benar-benar ga berguna untukku. Tanpa kertas sialan itupun aku bisa mengerjakan semua soal, walau ada sebagian yang kutebak dan kukira-kira. Tapi untunglah, pengawas II itu ngga heboh, ga tau deh nanti di ruang guru atau ruang panitia. Dengan sangat kesal kuremas kertas sialan itu dan kulempar jauh jauh dari hadapanku.