Seperti biasa, kududuk di teras belakang rumahku, ditemani lonceng angin yang kubuat sendiri dari botol bekas obat sirup adikku. Menatap langit yang begitu menawan, tak ada bintang di sana, yang ada hanya sebuah purnama yang sempurna bentuk lingkarannya.
Sayup angin datang menghembus menyapa kulitku, menggantikan kehangatan dengan dingin yang perlahan merambat dalam tubuhku. Tentu lonceng anginku pun bergoyang, mengeluarkan bunyi merdu melebihi musik klasik sekalipun. Perlahan mengencang, kemudian diam, seiring dengan tiupan angin yang datang kemudian pergi lagi.
Aku tak peduli dengan omongan orang jaman dulu yang mengatakan bebunyian di malam hari itu dapat membangunkan arwah-arwah nenek moyang, lantas mereka menirukan bunyi-bunyian tersebut. Entahlah, tak ada satu logika pun yang bisa aku pahami untuk menerima perkataan itu. Yang jelas, aku suka sekali bunyi lonceng angin itu.
Puas menatap langit, pandanganku pun beralih ke arah tenggara. Tiba tiba dadaku sesak kala melihat lampu lampu yang menyala nun jauh di sana. Ah… aku tak mau menggambarkannya.
Tak kuat menahan sesak yang semakin menjadi, aku pun memejamkan mataku, menikmati rasa sakit yeng terus menerus menggerogoti dadaku.
Aku lantas berdiri, memegangi pagar bersi pembatas rumahku dengan tebing setinggi tiga meter kira kira. Dingin kurasa tanganku memegangnya. Mataku menatap lurus dalam-dalam. Kosong. Benar benar kosong. Entahlah, otakku rasanya berhenti mengirimkan sinyal sinyalnya.
0 komentar:
Posting Komentar