Rasanya sulit untuk terus menjalani semua ini, melawan diri sendiri, melakukan semua yang hasilnya pun tak jelas dan tak tahu manfaatnya apa. Konsisten di dalam ke-tidak pasti-an. Susah untuk bertahan. Susah untuk menjaga emosi, terlebih setelah tahu bahwa semua tak berarti.
Tadinya ingin melompati dua gunung sekaligus, menyelam sambil minum air. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Tapi Perahunya oleng, tenggelam semua.
Sulit menjaga keseimbangan, melupakan rasa demi satu visi, melepas keterikatan antara keduanya. Satu sisi rasa menjadi katalis yang sungguh hebat. Di sisi lain, justru rasa-lah yang meruntuhkan semuanya.
Berat memang, bagaimana untuk tertawa saat bersedih, dan menangis tersedu saat bahagia, mengabaikan isi hati, rasa, dan mungkin, jiwa. Bagaimana menjiwai jiwa orang lain, merasa bahwa dia adalah aku, mereka berada di depan mataku, terdengar, teraba, terlihat.
Materi lagi-lagi sebuah timbangan. Tak mungkin manusia hidup dengan kepuasan batin semata, tanpa materi yang memenuhi kebutuhan lahirnya. Lengkaplah sudah.
Lengkaplah sudah… sebuah monster penghalang yang sangat menakutkan, berkepala rasa, bertangan ketidak pastian, berbadan emosi, dan berkaki materi tak pasti.
Satu hal lagi, hidup bukanlah hanya tentang bagaimana dilihat, tapi bagaimana melihat. Suatu monster menyeramkan lain yang tidak kalah berbahaya. Bahwa kita masih bisa bernafas sekalipun orang lain tak bisa melihat nafas kita. Pergerakan nafas kita kecewa saat tak ada seorang pun yang melihat kita. Berusaha bernafas senormal mungkin, terus bernafas, dan tak peduli apakah ada orang yang melihat kita atau tidak. Memang manusia tidak bisa hidup sendiri. Tapi terlalu picik jika semua hanya untuk mencari perhatian semata.
“Orang beriman tidak hidup dengan pujian dan tidak mati dengan cacian”
Tadinya ingin melompati dua gunung sekaligus, menyelam sambil minum air. Sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Tapi Perahunya oleng, tenggelam semua.
Sulit menjaga keseimbangan, melupakan rasa demi satu visi, melepas keterikatan antara keduanya. Satu sisi rasa menjadi katalis yang sungguh hebat. Di sisi lain, justru rasa-lah yang meruntuhkan semuanya.
Berat memang, bagaimana untuk tertawa saat bersedih, dan menangis tersedu saat bahagia, mengabaikan isi hati, rasa, dan mungkin, jiwa. Bagaimana menjiwai jiwa orang lain, merasa bahwa dia adalah aku, mereka berada di depan mataku, terdengar, teraba, terlihat.
Materi lagi-lagi sebuah timbangan. Tak mungkin manusia hidup dengan kepuasan batin semata, tanpa materi yang memenuhi kebutuhan lahirnya. Lengkaplah sudah.
Lengkaplah sudah… sebuah monster penghalang yang sangat menakutkan, berkepala rasa, bertangan ketidak pastian, berbadan emosi, dan berkaki materi tak pasti.
Satu hal lagi, hidup bukanlah hanya tentang bagaimana dilihat, tapi bagaimana melihat. Suatu monster menyeramkan lain yang tidak kalah berbahaya. Bahwa kita masih bisa bernafas sekalipun orang lain tak bisa melihat nafas kita. Pergerakan nafas kita kecewa saat tak ada seorang pun yang melihat kita. Berusaha bernafas senormal mungkin, terus bernafas, dan tak peduli apakah ada orang yang melihat kita atau tidak. Memang manusia tidak bisa hidup sendiri. Tapi terlalu picik jika semua hanya untuk mencari perhatian semata.
“Orang beriman tidak hidup dengan pujian dan tidak mati dengan cacian”
0 komentar:
Posting Komentar