Pada Harinya Nanti

Pada harinya nanti, entah tepat setelah detik pertama pergantian hari, atau pagi pagi ketika tetes embun terakhir menitik, atau mentari terlanjur naik, pintu kamarmu akan diketuk, lalu namamu dipanggil lirih. Kamu keluar, diikuti teriakan bernada gembira, “Selamat ulang tahun!” Katanya keras. Kemudian kamu menutup mulut dengan kedua tanganmu, entah benar terkejut atau hanya pura pura. Senyummu mengembang diikuti desir darah hangat yang mengalir dari ubun ubun menuju hati, membuat jantungmu berdegup lebih cepat dua kali.

Ketika itu, yang akan kulakukan mungkin tak banyak, hanya lirih menyebut namamu dalam rengkuh di atas sajadah, berharap segala yang terjadi padamu adalah yang terbaik.

Pada harinya nanti, diasongkannya kue dengan lilin masih menyala di atasnya. Kamu berdoa sebelum api di lilin itu kau hembuskan, diiringi nyanyian dan tepuk tangan.

Ketika itu, yang bisa kulakukan hanyalah menengadahkan tanganku ke atas, mungkin sembari menyebut namamu, mungkin juga tidak. Mungkin bersuara, mungkin juga tidak. Namun jelas kan kureka wajahmu dalam setiap doa yang terucap.

Pada harinya nanti, kau akan memotong kue yang disodorkan kepadamu tadi. Potongan pertamanya kan kau suapkan pada aktor pertama di balik semua kejadian ini. Senyum mu merekah, begitu pun miliknya. Aku tak kan benci bila itu sejati, karena berarti satu isi dari doa ku telah turun ke bumi.

Pada saatnya nanti, setelah semua keributan mereda, satu kotak dibungkus kertas motif indah kan kau terima. Kau pun menebak nebak isinya apa. “Selamat ulang tahun” sekali lagi katanya.

Ketika itu aku mungkin hanya bisa meraih telfon genggamku, menulis pesan panjang dengan sepenuh hati. Kubaca sekali lagi, lalu sebagian kuhapus lagi. Pengecut. Ternyata sungguh sulit mengendalikan hati.
pada harinya nanti, tersenyumlah, berbahagialah, lalu kan kudapati diri ini berbangga hati. Semoga kamu adalah masa depanku nanti.

0 komentar:

Posting Komentar