13 Januari 2016
Pukul 5 sorean.
Gue jalan dari masjid yang ada di dekat lapangan sempur. Jalan aspal yang kami lalui masih basah sisa hujan barusan. Di jam se-sore itu kami baru sholat Ashar. Kalo mau bikin bikin alasan sih, hujan dari tadi terus turun deras. Kami berteduh di pinggir lapangan Sempur pun akibat hujan yang tiba-tiba turun. Kalau tidak, kami mungkin terus melanjutkan perjalanan, perjalanan yang arah dan tujuannya pun belum kami tentukan.
Setengah jalan dari masjid menuju pinggir lapangan Sempur tempat kami menyimpan motor, sekilas kami--Gue sama Nyoto-- melihat ada seseorang yang benar-benar kami kenal berjalan dari arah berlawanan, mendekati kami. Kami terkejut dengan pertemuan yang sangat tiba-tiba itu. Ketika jarak kami sudah sekitar satu meter, gue yang jalan duluan di depan Nyoto langsung tersenyum kepada sosok itu dan segera mengulurkan tangan dan mencium tangan beliau, sosok yang sangat kami idolakan di kampus. Dosen kami sendiri.
"Eh.. dari mana?" tanya beliau kepada kami setelah berganitan gue dan nyoto mencium tangannya.
"Lagi maen aja, Bu, jalan jalan sekitar sini," jawab Nyoto sambil tersenyum.
"Oh maen dulu aja ke kostan ibu. Deket ko dari sini."
Aku melihat Nyoto sedikit ragu akan menolak atau mengikuti ajakan beliau. Melihat ekspresi kebingungannya, gue langsung menjawab ajakan beliau.
"Oh kita lagi ditunggu yang lain, Bu. Lain kali aja," kata gue. Ini jujur ga bohong. Kami memang sedang ditunggu oleh teman-teman lainnya di tempat kami naik motor. Bisa lama dan berabe kalau kami menuruti ajakan untuk mampir itu.
"Rumah ibu di mana, Bu?" kata nyoto basa basi.
"Itu di sana, di dekat pertigaan." jawab beliau.
"Oh yang belok kanan itu ya Bu?" tambah Nyoto, yang kuyakin dia hanya pura-pura tahu saja.
"Iya." Kata beliau. "Eh, ini siapa?" Kata beliau sambil menyentuh jaket gue yang kebetulan ada papan namanya. Setelah sekian banyak percakapan, Beliau baru bertanya nama kami.
"Saya Taofik, Bu." Jawab Gue.
"D- berapa?" tanya beliau lagi.
"D sebelas, Bu. IPTP, angkatan 48," Jawab gue dan Nyoto bersautan.
"Oh.. Kalau ini?" Beliau kini menunjuk ke arah Nyoto.
"Saya Andika, Bu." Jawab Nyoto. Kenapa gue panggil Nyoto? ceritanya panjang.
"Oh ya udah kalo gitu.. Ibu jalan lagi. Lain kali mampir aja ke kosan ibu," katanya sambil sedikit melambaikan tangan rendah.
"Iya bu." Jawab kami hampir berbarengan.
Di sepanjang sisa perjalanan menuju parkiran motor, gue dan nyoto membahas apa yang baru saja terjadi. Kami membahas keterkejutan kami, membahas kebaikan-kebaikan dosen kami itu, dan sebagainya.
Mungkin akan sedikit ironis ketika gue menyebut beliau sebagai idola. Kecuali kalau gue tambahkan tanda kutip jadi "idola". Kenapa? karena terlalu banyak mahasiswa yang kagum sama beliau sampai-sampai banyak diantara kami--mahasiswa yang pernah beliau ajar di kelas-- sering membicarakan hal-hal negatif tentang beliau di belakang. Selain itu, saking banyaknya yang meng"idola"kan beliau, ketika belum sampai, seluruh mahasiswa sudah siap dan diam di kursinya masing masing. Satu dua orang mungkin membantu beliau membawakan alat tulis pribadinya, laptop, dan yang tidak boleh ketinggalan, kipas angin pribadinya. Ya! Beliau kalau ngajar di kelas suka bawa kipas angin pribadinya. Beliau itu, kalau boleh gue bilang, memiliki cara yang "unik" dalam menyampaikan kuliah di kelas. Lagi lagi gue harus menambahkan tanda kutip pada kata "unik". Kenapa unik? gue ga mau ngebahasnya di sini. Takut dosa. Yang pasti seantero fakultas pasti sudah tahu bagaimana "unik"nya cara beliau mengajar. Yang akan gue bahas di sini mungkin kebaikan-kebaikannya aja yang membuat gue, jujur, mengidolakannya. Gue kali ini ga menambahkan tanda kutip di kata idola.
Beliau itu orangnya baik, jika kita memperlakukan beliau dengan baik pula. Dengan penuh hormat dan kasih sayang. Ini serius. Gue jujur serius. Ga main-main. Beliau itu kalau sudah memberikan kebaikan suka ga nanggung-nanggung. Kalau sudah mengistimewakan seseorang, ga nanggung nanggung. Pernah ada teman kami, cewe, berhasil mengambil hati beliau. Kalian tau gimana beliau memperlakukan si cewe itu? Dia diperlakukan layaknya anak emas. Dipuji-puji. disanjung sanjung. Di samping itu, ketika mood beliau sedang baik, kelas akan terasa menyenangkan. Walaupun gue yakin sebagian besar di antara kami, mahasiswa yang diajarnya, hanya berpura-pura ikut senang. Meski gue mengenal beliau sebatas kulit luarnya aja, tau karakteristik sifat orang seperti beliau ini. Beliau itu kalau dikasih satu, akan ngasih dua atau lebih. Kalau dikasih ginjal, pasti ngasih nyawa. Tapi kalau kita berbuat ga baik ke beliau sedikit aja, kalau kita nyubit, dia akan nonjok kita. Kalau kita meludahinya, dia akan ngebunuh kita. Mungkin ini berlebihan. Tapi gapapa. Ga salah juga kan ngomongin orang kalau yang diomongin adalah kebaikannya?
Semoga beliau selalu dirahmati Tuhan.
0 komentar:
Posting Komentar