Jogja - Bab VII Jogja, Kota yang Tidak Pernah Tertidur



Dua malam di Jogja membuatku sangat-sangat kekurangan tidur.  Betapa tidak, kawasan Malioboro lebih “hidup” pada malam hari.  Para pemuda kebanyakan baru keluar setelah matahari benar-benar tenggelam.   Bila Hollywood  punya Walk of Fame sebagai trotoar paling terkenal, maka Jogjakarta punya Malioboro.  Bukan tempat nama-nama tokoh dunia terpajang, Malioboro merupakan pusatnya orang-orang berkumpul di Jogjakarta.  Kehidupan malam di Malioboro akan menggoda siapa saja untuk tidak tidur hingga pagi menjelang (bukan dari segi negatif seperti clubbing atau berpesta tentunya).  Banyak pemuda pemuda berkumpul malam hari di Malioboro.  Mereka menampilkan karya-karya mereka.  Kebanyakan dalam bidang musik.  Kita bisa menemukan setidaknya  lima grup pemusik jalanan di sepanjang trotoar Malioboro.  Tidak seperti pengamen kebanyakan, para seniman ini benar-benar “niat”.  Mereka membawa sound sistem sendiri.  Di samping itu alat-alat yang digunakan pun tidak melulu gitar dan gitar.  Bermacam alat seperti anglkung, gendang, terompet, seruling, atau alat musik tradisional lain juga mereka bawakan.  Ngobrol dengan teman-teman diiringi alunan musik dari seniman jalanan tentu menjadi hal yang mengasyikkan.  Dan sepertinya hal ini didukung oleh pemerintah.  Terlihat dari adanya petugas yang berkeliaran dan mengamankan area Malioboro.  Tidak ada larangan untuk berkumpul di malam hari dari pemerintah.  Nongkrong di tempat terbuka tentu lebih baik dibanding clubbing dan minum-minum di diskotek atau tempat lainnya.

Satu hal lagi yang membuat aku kagum dengan pemerintah Jogjakarta adalah efektifnya pekerjaan dari petugas kebersihan kota.  Hal ini bisa dilihat ketika malam hampir habis dan sampah menumpuk di sepanjang trotoar, pada pagi hari ketika mencari sarapan, sampah-sampah itu sudah hilang entah ke mana.  Tidak ada yang namanya selokan mampet oleh sampah.

0 komentar:

Posting Komentar